Bukan persoalan mudah mengembalikan bangsa ini menjalankan kembali Pancasila. Tekanan global, ketidakberanian, dan kepentingan pribadi dan golongan seperti melupakan elit politik dari tujuan bangsa. Pancasila sebagai pedoman bangsa diabaikan oleh para elit politik. Dan para pemuda menganggap Pancasila hanyalah hiasan dinding sekolah. Nuansa edisi Juni memberi gambaran pentingnya membumikan Pancasila dan berbagai akibat pengabaian Pancasila.
Pancasila di Orde Reformasi
Setiap 1 Juni, ingatan kolektif bangsa disentil dengan peringatan hari lahirnya Pancasila. Pengingat di era reformasi sangat penting, karena Pancasila selama republik ini berdiri belum dilaksanakan sepenuhnya.
Tak ada yang berubah dari Pancasila ketika reformasi bergulir, baik dalam konteks ketatanegaraan, kebangsaan, kemasyarakatan, maupun akademik. Sejak pemerintahan BJ Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, dan kini Susilo Bambang Yudhoyono, Pancasila tetap menjadi dasar dan ideologi negara, meskipun sebatas pernyataan konstitusi.
Karena Pancasila ada dalam konstitusi (UUD 1945), maka berdasarkan stufenbau der rechtstheorie (teori pertingkatan hukum) Hans Kelsen, Pancasila berkedudukan sebagai grundnorm (norma dasar). Grundnorm adalah kaidah tertinggi, fundamental, dan menjadi inti (kern) setiap tatanan hukum dan negara.
Grundnorm, disebut juga staas grundnorm, berada di atas Undang-Undang Dasar. Dalam ajaran mazhab sejarah hukum yang dipelopori Friedrich Carl von Savigny dan bertitik tolak pada volksgeist (jiwa bangsa), Pancasila dapat digolongkan sebagai volksgeist bangsa Indonesia. Meskipun demikian, muncul fenomena di berbagai lapisan masyarakat yang hampir tidak pernah lagi mengutip Pancasila dalam pandangannya. Pancasila seperti tenggelam, tidak perlu dimunculkan lagi di ruang publik.
Pancasila pun terpinggirkan dan terasing dari dinamika kehidupan bangsa. Dasar negara ini seperti tidak dibutuhkan, baik dalam kehidupan formal-kenegaraan maupun masyarakat sehari-hari.
Di ruang sepi, Pancasila tak ditinggalkan sepenuhnya. Ada keinginan sebagian masyarakat untuk merevitalisasi eksistensi Pancasila, tetapi belum mengerucut jadi gerakan. Dalam sejarah ketatanegaraan, revitalisasi Pancasila sebenarnya pernah berlangsung. Gelombang pertama ketika Pancasila lahir saat Soekarno berpidato di depan BPUPKI, 1 Juni 1945. Gelombang kedua, ketika Konstituante, pasca- Pemilu 1955, memperdebatkan apakah Pancasila dipertahankan sebagai dasar negara atau diganti ideologi lain. Gelombang ketiga saat Pancasila dimanipulasi rezim Soeharto.
Selama 32 tahun pemerintahan Soeharto, Pancasila amat sering dibahas, baik dalam kehidupan kenegaraan maupun kemasyarakatan. Hampir semua pidato Soeharto mengutip Pancasila. Sebagaimana dikatakan Cohen, juga Hallin dan Mancini, pidato Presiden memengaruhi masyarakat terkait realitas sosial politik yang ada. Menurut pakar hukum Josef M Monteiro, Pancasila jadi kata kunci pidato Soeharto untuk menunjukkan Orde Lama sebagai masa yang penuh kekacauan karena tidak mengamalkan Pancasila. Dalam wacana khas Orde Baru, berbagai penyelewengan, disintegrasi, pemberontakan, dan komunisme adalah praktik penyimpangan terhadap Pancasila.
Lantas mengapa setelah lengsernya Soeharto Pancasila tak terdengar lagi, bahkan muncul keengganan berbagai kalangan mengakui eksistensi Pancasila? Ini akibat dari traumatisnya masyarakat terhadap penyelewengan penguasa Orde Baru yang mengatasnamakan Pancasila. Demi kekuasaan, para penguasa Orde Baru memonopoli penafsiran Pancasila sesuai kepentingannya. Semua yang dinilai tidak sesuai dicap “anti-Pancasila”. Pasca-Reformasi muncul kekhawatiran, jika Pancasila kembali berperan, berarti Indonesia kembali ke masa Orde Baru. Pancasila diidentikkan sebagai bagian dari rezim dan ideologi penguasa Orde Baru.
Belajar dari penyelewengan Pancasila oleh pemerintahan Orde Baru, bangsa Indonesia hendaknya kembali menyadari pentingnya Pancasila sebagai konsep bernegara. Ini mengingat bangsa kita telah kehilangan arah akibat praktik korupsi, kolusi, nepotisme, dan menjadi collapsed state: negara tidak berperforma baik karena fungsi-fungsi negara tidak membawa negara keluar dari berbagai kebobrokan internal. Artinya, negara gagal menjalankan fungsi-fungsi dasarnya terutama saat masyarakat membutuhkan kehadiran negara.
Mengembalikan Pancasila pada Memori Bangsa
Keberhasilan menempatkan kembali Pancasila sangat tergantung pada keteladanan para elite politik dalam menegakkan nilai-nilai Pancasila. Ini berarti lahirnya jiwa negarawan yang memahami tanda-tanda zaman sehingga dapat membawa bangsa melewati masa-masa sulit. Keadaan saat ini jauh dari panggang dengan api, dengan cita-cita para pendiri bangsa mengenai Pancasila. Sebuah cacatan kecil Bung Hatta, menuliskan begini: “Pancasila adalah pedoman dalam menuju Indonesia yang berdaulat, bahagia, sejahtera, dan damai. Apa kebahagiaan? Apabila rakyat merasa hidupnya berbahagia. Cukup makan, pakaian, tempat tinggal (rumah) memuaskan, kesehatan terpelihara, anak-anak dapat disekolahkan, ada perasaan hari kemudian terpelihara.”
Kalimat-kalimat itu adalah materi kuliah Mohammad Hatta tahun 1958-1959. Salah satu pendiri bangsa dan proklamator kemerdekaan Indonesia yang terlibat aktif dalam penyusunan UUD 1945 itu melanjutkan. “Sekalipun merasakan kekurangan kemakmuran-kemakmuran yang tak pernah tercapai-orang merasa hidupnya terpelihara, keperluan yang terpenting dapat dipuaskan”.
Kalimat-kalimat itu adalah materi kuliah Mohammad Hatta tahun 1958-1959. Salah satu pendiri bangsa dan proklamator kemerdekaan Indonesia yang terlibat aktif dalam penyusunan UUD 1945 itu melanjutkan. “Sekalipun merasakan kekurangan kemakmuran-kemakmuran yang tak pernah tercapai-orang merasa hidupnya terpelihara, keperluan yang terpenting dapat dipuaskan”.
Dalam angka, pertumbuhan ekonomi Indonesia mencatat lompatan pesat. Pendapatan per kapita tahun 2012 mencapai Rp 33,3 juta atau USD 3.562,6 per tahun, naik hampir tiga kali lipat dalam sepuluh tahun. Jumlah penduduk miskin terus turun meski perlahan. Lapangan kerja, menurut laporan Badan Pusat Statistik, bertambah meski kualitasnya dipertanyakan.
Merujuk kepada catatan kuliah Bung Hatta, benarkah bangsa ini “merasa hidupnya terpelihara” seperti cita-cita Indonesia merdeka? Kalau iya mungkin korupsi tidak semengurat-mengakar saat ini. Orang tidak perlu cemas jatuh sakit karena mahalnya biaya berobat, tak perlu banyak anak perempuan usia 15-16 tahun setamat pendidikan wajib 9 tahun menjadi pekerja rumah tangga (PRT), tak usah bekerja sebagai PRT di luar negeri dengan risiko upah tak dibayar atau dianiaya majikan.
Bila tujuan beradanya Indonesia adalah rasa damai, orang tidak perlu takut menjalani keyakinannya, apalagi diserang dan dianiaya hingga tewas. Warga Papua mestinya tidak perlu merasa dianaktirikan pemerintah di Jakarta. Tidak pula keinginan adanya Negara Islam Indonesia atau perilaku radikal lain atas nama agama.
Meski begitu, rakyat Indonesia yang terbentuk melalui pertautan budaya-budaya besar dunia masih memiliki keliatannya dalam menghadapi riak-riak ketidakpuasan itu. Persoalannya memang bukan penolakan pada Pancasila ketika reformasi tidak menjawab berbagai masalah sosial, budaya, ekonomi, dan politik yang semula dibayangkan selesai dengan sendirinya.
Menurut Yudi Latif, penulis buku Negara Paripurna, Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila (Gramedia, 2011), sikap sinis muncul karena pejabat mengumbar kata Pancasila sehingga terjadi inflasi kata-kata. “Problem mendasar selama ini Pancasila mengalami inflasi pengucapan luar biasa. Problem pepesan kosong,” kata dia.
Pancasila setelah kelahirannya tidak diziarahi secara akademis untuk menggali substansinya dan mencari referensi pada sejarah pengetahuan dan keilmuan. Akibatnya, Pancasila tak dipahami dan diamalkan secara rasional, terutama oleh pejabat publik dan politisi.
Hal itu, demikian Yudi Latif, tampak mencolok dalam amandemen UUD 1945 sebagai penerjemahan Pancasila. Penambahan kata efisiensi pada Pasal 33 butir (4) menunjukkan perumus baru UUD 1945 tidak paham substansi perdebatan yang melahirkan Pasal 33. Dalam negara kekeluargaan Indonesia, negara diberi hak menguasai cabang-cabang produksi penting yang menguasai hajat hidup orang banyak karena negara wajib, antara lain, memelihara fakir miskin, anak telantar, pendidikan, dan memberi lapangan kerja. “Efisiensi adalah keadaan yang harus sendirinya terjadi, di mana pun kegiatan ekonomi,” kata Yudi Latif.
Hal itu, demikian Yudi Latif, tampak mencolok dalam amandemen UUD 1945 sebagai penerjemahan Pancasila. Penambahan kata efisiensi pada Pasal 33 butir (4) menunjukkan perumus baru UUD 1945 tidak paham substansi perdebatan yang melahirkan Pasal 33. Dalam negara kekeluargaan Indonesia, negara diberi hak menguasai cabang-cabang produksi penting yang menguasai hajat hidup orang banyak karena negara wajib, antara lain, memelihara fakir miskin, anak telantar, pendidikan, dan memberi lapangan kerja. “Efisiensi adalah keadaan yang harus sendirinya terjadi, di mana pun kegiatan ekonomi,” kata Yudi Latif.
Pengajar di IAIN Sunan Kalijaga dan peneliti di Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat Universitas Islam Negeri Jakarta, Noorhaidi Hasan, yang disertasinya mengkaji radikalisme Islam, sependapat. Praktik oleh penyelenggara negara yang tidak sejalan antara ucapan dengan tindakan dan kebijakan menyebabkan masyarakat gamang terhadap nilai-nilai Pancasila.
Yudi Latif mencontohkan, janganlah hari ini di mimbar bicara Pancasila, tetapi besok berpelukan dengan pihak yang jelas melakukan kekerasan kepada kelompok lain. Karena tidak ada keteladanan dari politisi dalam menerapkan Pancasila pada kehidupan sehari-hari, rakyat menjadi gamang. “Kevakuman ideologi Pancasila setelah kejatuhan rezim Orde Baru melipatgandakan kegamangan itu. “Situasi ini berbahaya. Ideologi radikal mendapat celah menavigasi rakyat yang gamang ke arah yang mereka inginkan, sekaligus mengisi kevakuman ideologi yang ditinggalkan Pancasila,” kata Noorhaidi.
Yang harus dipahami pejabat publik, demikian Yudi Latif, UUD 1945 pertama-tama mengamanatkan pelaksanaan konstitusi kepada penyelenggara negara. Ke depan, Pancasila jangan lagi dijangkarkan satu arah dari atas ke bawah dan semata-mata melayani pemerintah.
“Arus balik kesadaran kembali pada Pancasila harus dalam tanda baru. Radikalisasi atau penjangkaran Pancasila harus memberi sesuatu yang baru, bukan seperti pada masa lalu dalam bentuk penataran P-4 lalu diringkas jadi 36 butir tanpa alasan jelas,” kata Yudi Latif.
Pendidikan kewarganegaraan
Menurut pengajar Fakultas Ilmu Budaya UI, Rocky Gerung, kini masyarakat kehilangan perangkat berpikir majemuk. Karena itu, perlu upaya meletakkan kembali Pancasila sebagai kamus pluralisme. Rocky mengingatkan, Pancasila sebagai kesepakatan budaya bukan obat untuk berbagai penyakit.
Jadi, meradikalisasi Pancasila berarti mengaktifkan humanisme dan penghormatan pada martabat manusia. Perangkat untuk mencapai semua itu adalah pendidikan kewarganegaraan, bukan agama. “Pancasila sesuai dengan pendidikan kewarganegaraan bila ditempatkan dalam dataran kebudayaan,” jelas Rocky.//**
Jadi, meradikalisasi Pancasila berarti mengaktifkan humanisme dan penghormatan pada martabat manusia. Perangkat untuk mencapai semua itu adalah pendidikan kewarganegaraan, bukan agama. “Pancasila sesuai dengan pendidikan kewarganegaraan bila ditempatkan dalam dataran kebudayaan,” jelas Rocky.//**
Membumikan Islam dengan Pancasila
Sebagian ormas Islam menolak Pancasila sebagai asas tunggal. Sejatinya antara Pancasila dan Islam memiliki keterkaitan yang kuat. Justru, Pancasila memberi akses yang luas bagi dakwah Islam.
Sila-sila dalam Pancasila merupakan pintu masuk membumikan semangat Islam di Indonesia. Umat Islam tidak perlu lagi memperjuangkan gagasan negara Islam yang justru akan mengganggu kesepakatan pendiri bangsa. Itu karena toleransi merupakan ajaran penting Islam.
Itulah yang diyakini mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Ahmad Syafii Maarif. Menurutnya toleransi merupakan ajaran penting dalam Islam. “Islam sangat menekankan ajaran kemanusiaan. Sayangnya, dimensi kemanusiaan dalam Islam itu kurang diapresiasi,” katanya.
Nilai-nilai kemanusiaan dan toleransi itu juga diserap dalam Pancasila. Tanpa harus diformalkan dalam bentuk syariat atau khilafah Islam, sesungguhnya nilai kemanusiaan Islam telah terserap dalam bingkai negara Indonesia lewat Pancasila.
Nilai-nilai kemanusiaan dan toleransi itu juga diserap dalam Pancasila. Tanpa harus diformalkan dalam bentuk syariat atau khilafah Islam, sesungguhnya nilai kemanusiaan Islam telah terserap dalam bingkai negara Indonesia lewat Pancasila.
Sependapat dengan Syafii Maarif, Direktur Utama Mizan Publishing Haidar Bagir di acara itu mengatakan, bangsa ini harus menjaga kesetiaan pada cita-cita pendiri bangsa. Salah satu caranya, dengan menyimak pemikiran orang-orang yang memang memiliki pandangan kebangsaan dan keindonesiaan yang kuat.
Guru Besar Institut Agama Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya Zainuddin Maliki mengedepankan, keinginan kalangan pemimpin negara untuk merevitalisasi Pancasila dalam kehidupan sehari-hari dan kehidupan berbangsa adalah suatu keniscayaan. Namun, tetap harus diwaspadai karena bisa dijadikan alat rezim yang berkuasa untuk mengukuhkan hegemoninya.
Guru Besar Institut Agama Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya Zainuddin Maliki mengedepankan, keinginan kalangan pemimpin negara untuk merevitalisasi Pancasila dalam kehidupan sehari-hari dan kehidupan berbangsa adalah suatu keniscayaan. Namun, tetap harus diwaspadai karena bisa dijadikan alat rezim yang berkuasa untuk mengukuhkan hegemoninya.
Menurut Zainuddin, terpinggirkannya Pancasila bukan karena proses reformasi, melainkan semasa Orde Baru, Pancasila diindoktrinasikan kepada masyarakat secara tertutup, formalistik, dan untuk kepentingan hegemoni rezim Orde Baru. Dia mengingatkan, revitalisasi Pancasila tidak sampai membungkam kebebasan dan keterbukaan.
Direktur Institute for Peace and Human Rights IAIN Sumatera Utara Phil Zainul Fuad mengatakan, Islam menekankan pentingnya gagasan kerukunan agama. Jadi umatnya pun harus berposisi sebagai mediator di tengah pluralitas agama-agama di Indonesia. Satya Arinanto dalam tesisnya mengenai Islam dan Pancasila, berpendapat, Islam dan lahirnya Pancasila memiliki keterikatan yang kuat, “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa” [Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945] serta penempatan “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai sila pertama dalam Pancasila mempunyai beberapa makna, yaitu: Pertama, Pancasila lahir dalam suasana kebatinan untuk melawan kolonialisme dan imperialisme, sehingga diperlukan persatuan dan persaudaraan di antara komponen bangsa. Sila pertama dalam Pancasila ”Ketuhanan Yang Maha Esa” menjadi faktor penting untuk mempererat persatuan dan persaudaraan, karena sejarah bangsa Indonesia penuh dengan penghormatan terhadap nilai-nilai ”Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Kerelaan tokoh-tokoh Islam untuk menghapus kalimat “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” setelah “Ketuhanan Yang Maha Esa” pada saat pengesahan UUD, 18 Agustus 1945, tidak lepas dari cita-cita bahwa Pancasila harus mampu menjaga dan memelihara persatuan dan persaudaraan antarsemua komponen bangsa. Ini berarti, tokoh-tokoh Islam yang menjadi founding fathers bangsa Indonesia telah menjadikan persatuan dan persaudaraan di antara komponen bangsa sebagai tujuan utama yang harus berada di atas kepentingan primordial lainnya.
Kedua, Seminar Pancasila ke-1 Tahun 1959 di Yogyakarta berkesimpulan bahwa sila ”Ketuhanan Yang Maha Esa” adalah sebab yang pertama atau causa prima dan sila ”Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan” adalah kekuasaan rakyat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara untuk melaksanakan amanat negara dari rakyat, negara bagi rakyat, dan negara oleh rakyat.Ini berarti, ”Ketuhanan Yang Maha Esa” harus menjadi landasan dalam melaksanakan pengelolaan negara dari rakyat, negara bagi rakyat, dan negara oleh rakyat.
Ketiga, Seminar Pancasila ke-1 Tahun 1959 di Yogyakarta juga berkesimpulan bahwa sila ”Ketuhanan Yang Maha Esa” harus dibaca sebagai satu kesatuan dengan sila-sila lain dalam Pancasila secara utuh. Hal ini dipertegas dalam kesimpulan nomor 8 dari seminar tadi bahwa: Pancasila adalah (1) Ketuhanan Yang Maha Esa, yang berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang berpersatuan Indonesia (berkebangsaan) yang berkerakyatan dan yang berkeadilan sosial; (2) Kemanusiaan yang adil dan beradab, yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, yang berpersatuan Indonesia (berkebangsaan),yang berkerakyatan dan yang berkeadilan sosial; (3) Persatuan Indonesia (kebangsaan) yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, yang berkemanusiaan yang adil dan beradab, berkerakyatan dan berkeadilan sosial; (4) Kerakyatan, yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, yang berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang berpersatuan Indonesia (berkebangsaan) dan berkeadilan sosial; (5) Keadilan sosial, yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, yang berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang bepersatuan Indonesia (berkebangsaan) dan berkerakyatan. Ini berarti bahwa sila-sila lain dalam Pancasila harus bermuatan Ketuhanan Yang Maha Esa dan sebaliknya Ketuhanan Yang Maha Esa harus mampu mengejewantah dalam soal kebangsaan (persatuan), keadilan, kemanusiaan, dan kerakyatan.
Keempat, “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa” juga harus dimaknai bahwa negara melarang ajaran atau paham yang secara terang-terangan menolak Ketuhanan Yang Maha Esa, seperti komunisme dan atheisme. Karena itu, Ketetapan MPRS No. XXV Tahun 1966 tentang Larangan Setiap Kegiatan untuk Menyebarkan atau Mengembangkan Faham atau Ajaran Komunis/Marxisme Leninisme masih tetap relevan dan kontekstual. Pasal 29 ayat 2 UUD bahwa “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing,” bermakna bahwa negara hanya menjamin kemerdekaan untuk beragama. Sebaliknya, negara tidak menjamin kebebasan untuk tidak beragama (atheis). Kata “tidak menjamin” ini sudah sangat dekat dengan pengertian “tidak membolehkan”, terutama jika atheisme itu hanya tidak dianut secara personal, melainkan juga didakwahkan kepada orang lain.//**
Wawancara:
Ketua MUI, Drs. H. Slamet Effendy Yusuf, M.Si:
“PANCASILA itu Rahmat bagi Bangsa Indonesia dan Umat Islam”
“PANCASILA itu Rahmat bagi Bangsa Indonesia dan Umat Islam”
Pertengahan Juni 2012, Fund For Peace melansir Failed State Index 2012. Hasilnya Indonesia turun dari peringkat 63 menjadi 64. Hal ini menjadi indikator, bahwa Indonesia menuju negara gagal. Salah satu alasannya, pemerintah kurang mampu melindungi kebebasan menjalankan agama bagi rakyatnya. Benarkah?
Praktik di lapangan seperti mengkonfirmasikan hal tersebut. Masih banyak gereja dan masjid yang sulit dibangun, dan kekerasan atas nama agama masih terjadi. Meskipun begitu, kehidupan antar umat beragama di Indonesia masih terbilang sehat. Hal itu dibuktikan pemberian penghargaan negarawan dunia 2013 atau “World Statesman Award” kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono oleh sebuah organisasi yang bermarkas di kota New York, “Appeal of Conscience Foundation” (ACF) tanggal 30 Mei 2013. Penghargaan ini membuktikan kehidupan beragama di Indonesia jauh lebih baik ketimbang di Myanmar, Thailand, ataupun negara di kawasan Asia lainnya. Sebenarnya, bagaimana membangun ukhuwah Islamiyah dengan semangat pancasila? Berikut wawancara wartawan Nuansa Eko Mugianto dengan Ketua MUI H Slamet Effendy Yusuf.
Sudah layakkah pengakuan bangsa lain terhadap kehidupan beragama di Indonesia, terkait pemberian penghargaan negarawan dunia kepada Presiden SBY?
Penghargaan yang diberikan kepada Presiden SBY adalah dari lembaga internasional yg sudah diakui reputasinya. Penghargaan tersebut pada hakekatnya karena kehidupan bernegara yang penuh toleransi. Negeri ini sejak lahir, diproklamirkan, karena berkat rahmat Allah negara ini dalam keadaan plural. Dengan suku dan agama yang beragam. Toleransi agama bukan sekedar menghormati, to respect atau sekedar saling mengenal, to recognize terhadap agama lain, orang lain, tetapi lebih kepada political sharing, social sharing, walaupun mayoritas agama Islam di Indonesia. Anda bisa lihat sejak kabinet Indonesia pertama kali dibentuk, terdiri dari pemeluk berbagai pemeluk agama. Negeri lain jarang seperti itu, maka wajar presiden memperoleh penghargaan negarawan.
Apa parameternya bahwa kehidupan beragama di Indonesia yang terbaik?
Dalam segala aspek, ada pengakuan terhadap minoritas. Anda tidak akan menemukan ini di Myanmar, di Thailand Selatan dan Filipina Selatan. Karena disana mayoritasnya bukan Islam, maka bila Anda beragama Islam akan dikejar-kejar, diburu, dan dibunuh. Islam pada dasarnya rahmatan lil ‘alamin. Karena toleransi sangat dijunjung tinggi dalam Islam. Sesuai dengan ketentuan Quran, jika Allah menginginkan semua manusia di dunia ini memeluk Islam bisa saja, atau semua manusia memeluk kristiani ya bisa saja. Itu semua kehendak Allah. Tapi kita sekarang melihat ada NU, Muhammadiyah, LDII dan lain-lain, itu artinya kalam Allah adalah mutlak. Dan ada rahasia dibalik kehendak Allah, ada hikmahnya.
Bila secara keseluruhan kehidupan umat beragama baik-baik saja, sebenarnya apa pemicu perselisihan antarumat beragama belakangan ini?
Ada dua penyebab utama; pertama, pemahaman tentang kebangsaan mereka tidak utuh. Termasuk sejarah bangsa ini. Yang kedua, bagaimana cara memandang perbedaan di lingkungan umat Islam dan antar umat beraga di luar Islam. Perlu diketahui, kemerdekaan Indonesia diraih dengan perjuangan panjang yang dipelopori, diawali, diniati terutama oleh orang Islam. Sejak Sultan Babullah mengangkat senjata di Ternate melawan Portugis. Diteruskan Dipati Unus di Demak, lalu Fatahillah di Jakarta, itu semua orang Islam yg menginginkan Indonesia lepas dari kolonialisme. Dan banyak contoh pejuang muslim lainnya. Jadi NKRI dan Pancasila itu rahmat bagi bangsa ini dan juga rahmat bagi umat Islam.
Bisa dibuktikan, hari ini di manakah negeri-negeri yang aman bagi umat Islam kecuali Indonesia?
Di Suriah perang, Irak perang, Mesir bermasalah, Yaman pun begitu. Bahkan negara-negara Islam di Afrika juga begitu. Negara Islam dipecah-pecah. Sedangkan Indonesia merupakan Darussalam, negeri penuh kerahmatan dari Allah. Anda bisa lihat dalam Pembukaan UUD 45 “Atas berkat Rahmat Allah SWT, dan didorong dengan keinginan yg luhur…..”. nah, ada sebagian orang yg tidak memahami itu. Hingga sekarang banyak yg mulai berpikir tentang khilafah, mulai berpikir berdirinya negara Islam di Indonesia.
Bila Islam itu rahmat mengapa muncul radikalisme dan terorisme di Indonesia?
Ini merupakan pergulatan pemahaman ideologis. Jadi kita memahaminya harus cerdik kontekstual. Orang-orang itu yang memahami Islam secara radikal itu, mereka menganggap selain Islam adalah kafir, dan agama lain adalah musuh. Kemudian mereka ingin mendirikan negara yang bersyariat Islam. Tanpa terasa, mereka terjebak oleh skenario oleh orang yang dianggap mereka musuh. Hasilnya, citra Islam jadi buruk, Islam itu pembunuh, Islam itu teroris, Islam itu merampok bank karena dianggap harta fai’.
Kita semua harus memahami, bahwa Indonesia adalah negara Darussalam, negara yang aman bagi umat Islam. Mereka tidak memahami konsep itu. Umat Islam terbesar di dunia ya adanya di Indonesia. Dalam memahami kehidupan bernegara dan berbangsa harus dilandasi oleh Quran dan Sunah. Dan hal ini sudah diajarkan sejak para wali zaman dulu. Contoh, di Kudus Anda akan sulit menjumpai soto sapi, sate sapi, dan masakan daging sapi lainnya. Itu karena ada hubungan insaniyah antar warga Kudus. Dulu, Sunan Kudus sangat memahami tentang toleransi. Dalam berqurban dihalalkan memotong sapi, tapi kan warga Kudus tidak hanya umat Islam. Umat Hindu sapi itu disucikan. Jika melihat sapi disembelih, akan menyakiti hati mereka. Maka beliau menyarankan agar tidak memotong sapi tetapi memotong kerbau, demi menghormati umat Hindu waktu itu. Dan itu sebenarnya bagian dari strategi dakwah.
Umat Islam memiliki Al Quran dan Al Hadist, sementara bangsa ini memiliki Pancasila. Bagaimana kaitan nilai antara keduanya?
Ada nilai-nilai yang hidup di dalam bangsa Indonesia, pertama agama. Karena agama merupakan panutan dari sebagian besar masyarakat, khususnya agama Islam. Karena itu Pancasila, juga harus memiliki nilai-nilai agama. Yang kedua adalah nilai-nilai budaya lokal, yang hidup di dalam masyarakat, termasuk nilai-nilai local wisdom yg sejak lama ada. Hal-hal semacam itu merupakan implementasi dari Pancasila yang hidup di dalam masyarakat Indonesia. Maka bila kita mengamalkan agama dengan baik, otomatis telah mengamalkan prinsip kenegaraan, Pancasila.
Kemudian konteksnya adalah Pancasila yang bersifat umum, publik, negara. Pancasila itu di atas Konstitusi. Dan Pancasila baru bisa operasional kalau digunakan untuk menata negara dan pemerintah. Jadi sebenarnya konstitusi itu adalah tafsir dari Pancasila. Maka Pancasila adalah way of life, nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat harus bersumber pada nilai-nilai agama dan kebudayaan lokal. Dan kedua bagaimana Pancasila ditafsirkan secara struktural atau formal dalam UUD 45 yang ditafsirkan oleh UU dan seterusnya. Itulah yg mengatur sistem berbangsa dan bernegara. Jadi pembangunan sistem itu harus sesuai dengan Pancasila.
Penerapan azas Pancasila dalam parpol dan ormas Islam apakah bertentangan dengan fiqih?
Boleh dong sebuah partai atau ormas itu mempunyai dasar eksklusif. Walaupun dalam realitas, dasar eksklusif itu, di Indonesia tidak laku. Jadi partai yang memiliki kepentingan umum lebih besar, yang lebih mementingkan kebersamaan, itu yang laku. Seperti PDIP, Golkar, Demokrat dan Gerindra, ketimbang partai eksklusif seperti PKS. Ada yang masuk partai non eksklusif contohnya Golkar, yang bukan partai Islam, tapi pengurusnya dan anggotanya relatif Islam. Mereka merasa dengan negeri yang seperti ini Islam sudah bisa dikembangkan. Islam sudah bisa diamalkan. Jadi kalo menganut demokrasi, tanpa menyebut negara ini negara Islam, presidennya pasti orang Islam. Kemudian percakapan-percakapan di parlemen pasti mencerminkan semangat Islam. Jadi kalau sekarang ada UU perbankan Islam, Ekonomi Islam, tentang takaful dll, itu karena negeri ini mayoritas umat Islam.
Bagaimana pandangan Bapak tentang peran LDII sebagai ormas yg berazaskan Pancasila?
Saya sering mendengar bahwa kelompok tertentu menyebarkan kabar miring tentang LDII. Tapi pada kenyataannya, saya tidak pernah menemukan itu di lapangan. Jika pun ada, ya mari kita perbaiki. Daripada kita saling bertikai lebih kita bangun kerukunan sesama umat. Berbeda itu biasa, dan jangan dibesar-besarkan. Sebab Rasulullah SAW sendiri pernah bersabda: Ikhtilaf umatku adalah rahmat. Jadi, marilah kita sikapi perbedaan itu dengan cara saling menghormati sesama umat demi terciptanya bangsa Indonesia yang kuat. Nah, LDII sebagai salah satu ormas Islam yg berazaskan Pancasila juga mempunyai kewajiban dalam membantu menciptakan kerukunan, tolerasi antarumat beragama. Islam itu bagaikan lautan, dan LDII diharapkan dapat menjadi salah satu dari sekian banyak sekoci-sekoci dalam menampung umat menuju Islam itu. Kan tidak mungkin 1 sekoci menampung semua orang. Kalau Islam itu sebuah bangunan, tidak bisa disangga hanya oleh sekelompok umat Islam.
Jadi mau tidak mau kita ini menjalani ramalan Nabi SAW yang mengatakan bahwa kita akan terbagi-bagi hingga 73 golongan. Mana yang benar, yaitu yang ahlussunah wal jamaah. Semua golongan mengaku ahlussunah wal jamaah, NU begitu, wahabi juga begitu, kalau begitu ya sudah, kita amalkan masing-masing. Yang penting saling memahami, dan cara yang tepat untuk saling memahami ialah jangan pernah memutlakkan tafsir kita tentang Islam, tentang Quran. Dengan begitu, masalah khilafiyah, kita tanggapi sebagai kekayaan umat Islam di dalam penafsiran Islam. Kita harapkan LDII bisa terbina dengan baik, dan mau terbuka dengan umat-umat lain, tidak menjadi eksklusif. Dan semua isu yang beredar itu dibantah dengan perbuatan. Undanglah ulama-ulama non LDII supaya ceramah di pengajian LDII. Sebab saya melihat keunggulan-keunggulan LDII antara lain menghidupkan organisasi dengan mengambil sebagian dari shodaqoh. Saya rasa eksklusifisme adalah bagian dari pertumbuhan. Dulu NU dan Muhammadiyah tidak pernah bertemu. Sekarang malah sering bertemu dimana-mana.//*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Alhamdulilah Jaza Kumullohu Khoiro , Atas Komentarnya Semoga Alloh Paring aman, selamat, lancar, berhasil, barokah...!