Oleh: Yurinaldy
Tahun 2012 lalu LDII sebagai salah satu ormas Islam di Indonesia mendapat undangan dari Kemenag untuk menghadiri sidang isbat awal Ramadhan, Syawal dan Dzulhijah. Hasil yang Nuansa dapat adalah penjelasan dari Badan Hisab Rukyat Kemenag, mengapa tanggal 1 Ramadhan jatuh pada hari Sabtu, 21 Juli 2012 dan 1 syawal jatuh pada hari Minggu, 19 Agustus 2012.
HILAL (bulan muda) adalah penampakan bulan yang paling awal terlihat menghadap bumi setelah bulan mengalami konjungsi/ijtimak. Bulan awal ini (bulan sabit tentunya) akan tampak di ufuk barat (maghrib) saat matahari terbenam.
Ijtimak/konjungsi adalah peristiwa yang terjadi saat jarak sudut (elongasi) suatu benda dengan benda lainnya sama dengan nol derajat. Dalam pendekatan astronomi, konjungsi merupakan peristiwa saat matahari dan bulan berada segaris di bidang ekliptika yang sama. Pada saat tertentu, konjungsi ini dapat menyebabkan terjadinya gerhana matahari.
Hilal merupakan kriteria suatu awal bulan. Seperti kita ketahui, dalam Kalender Hijriyah, sebuah hari diawali sejak terbenamnya matahari waktu setempat, dan penentuan awal bulan (kalender) tergantung pada penampakan hilal/bulan. Karena itu, satu bulan kalender Hijriyah dapat berumur 29 hari atau 30 hari.
Hisab bermakna perhitungan . Di dunia Islam istilah ‘hisab’ sering digunakan sebagai metode perhitungan matematik astronomi untuk memperkirakan posisi matahari dan bulan terhadap bumi.
Penentuan posisi matahari menjadi penting karena umat Islam untuk ibadah shalatnya menggunakan posisi matahari sebagai patokan waktu sholat.
Sedangkan penentuan posisi bulan untuk mengetahui terjadinya hilal sebagai penanda masuknya periode bulan baru dalam Kalender Hijriyah. Ini penting terutama untuk menentukan awal Ramadhan saat orang mulai berpuasa, awal Syawwal saat orang mangakhiri puasa dan merayakan Idul Fithri, serta awal Dzulhijjah saat orang akan wukuf haji di Arafah (9 Dzulhijjah) dan hari raya Idul Adha (10 Dzulhijjah).
Rukyat adalah aktivitas mengamati visibilitas hilal, yakni penampakan bulan sabit yang nampak pertama kali setelah terjadinya ijtimak (konjungsi). Rukyat dapat dilakukan dengan mata telanjang atau dengan alat bantu optik seperti teleskop. Rukyat dilakukan setelah Matahari terbenam. Hilal hanya tampak setelah Matahari terbenam (maghrib), karena intensitas cahaya hilal sangat redup dibanding dengan cahaya Matahari, serta ukurannya sangat tipis. Apabila hilal terlihat, maka pada petang (maghrib) waktu setempat telah memasuki bulan (kalender) baru Hijriyah. Apabila hilal tidak terlihat maka awal bulan ditetapkan mulai maghrib hari berikutnya.
Cara Penentuan awal bulan Kalender Hijriyah
Di Indonesia, terdapat beberapa kriteria yang digunakan baik oleh pemerintah maupun organisasi Islam untuk menentukan awal bulan pada Kalender Hijriyah:
1. Rukyatul Hilal
Rukyatul Hilal adalah kriteria penentuan awal bulan (kalender) Hijriyah dengan merukyat (mengamati) hilal secara langsung. Apabila hilal (bulan sabit) tidak terlihat (atau gagal terlihat), maka bulan (kalender) berjalan digenapkan (istikmal) menjadi 30 hari.
2. Wujudul Hilal (juga disebut ijtimak qoblal qurub)
Kriteria penentuan awal bulan (kalender) Hijriyah dengan prinsip: Jika pada setelah terjadi ijtimak (konjungsi), Bulan terbenam setelah terbenamnya matahari, maka pada petang hari tersebut dinyatakan sebagai awal bulan (kalender) Hijriyah, tanpa melihat berapapun sudut ketinggian (altitude) Bulan saat Matahari terbenam.
3. Imkanur Rukyat MABIMS
Imkanur Rukyat adalah kriteria penentuan awal bulan (kalender) Hijriyah yang ditetapkan berdasarkan Musyawarah Menteri-menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura (MABIMS), dan dipakai secara resmi untuk penentuan awal bulan Hijriyah pada Kalender Resmi Pemerintah.
Kriteria yang digunakan adalah sebagai berikut:
Kriteria yang digunakan adalah sebagai berikut:
• Pada saat matahari terbenam, ketinggian (altitude) Bulan di atas cakrawala minimum 2°, dan sudut elongasi (jarak lengkung) Bulan-Matahari minimum 3°, atau
•Pada saat bulan terbenam, usia bulan minimum 8 jam, dihitung sejak ijtimak.
Di Indonesia, secara tradisi pada petang hari pertama sejak terjadinya ijtimak (yakni setiap tanggal 29 pada bulan berjalan), Pemerintah Republik Indonesia melalui Badan Hisab Rukyat (BHR) melakukan kegiatan rukyat (pengamatan visibilitas hilal), dan dilanjutkan dengan Sidang Itsbat, yang memutuskan apakah pada malam tersebut telah memasuki bulan (kalender) baru, atau menggenapkan bulan berjalan menjadi 30 hari. Di samping metode Imkanur Rukyat di atas, juga terdapat kriteria lainnya yang serupa, dengan besaran sudut/angka minimum yang berbeda.
Sidang Isbat
Adalah upaya Pemerintah untuk memberi kepastian kepada umat dan sedapat mungkin mengupayakan terjalinnya persatuan dengan pemahaman bersama akan sumber perbedaan yang harus diselesaikan.
Saat ini hampir semua negara awal Ramadhan dan hari raya ditetapkan oleh negara, kecuali di negara-negara non-Islam (muslim minoritas) yang penetapannya dilakukan oleh organisasi keislaman, baik lokal maupun nasional. Di Indonesia, ketentuan untuk penetapan hari libur keagamaan sudah ditetapkan oleh pemerintah, tetapi dalam implementasi pelaksanaan ibadah, khususnya Ramadhan dan hari raya, ormas-ormas Islam mempunyai ketetapan masing-masing yang kadang-kadang berbeda-beda. Apakah keragaman terkait dengan ibadah yang bersifat massal dan berdampak sosial seperti itu dibiarkan tanpa pengaturan?
Setelah Kementerian Agama (dulu Departemen Agama) RI dibentuk pada 2 Januari 1946, salah satu tugas Kementerian Agama adalah penetapan hari libur nasional dan penentuan awal bulan qamariyah yang terkait dengan peribadatan. Hal itu termuat dalam Penetapan Pemerintah Nomor 2/Um, 7/Um, 9/Um dan beberapa Keputusan Presiden terkait lainnya, antara lain Kepres Nomor 25/1967, 148/1968, dan 10/1967 (Asadurrahman, Disertasi “Kebijakan Pemerintah Indonesia tentang Hisab dan Rukyat”, 2011).
Setelah Kementerian Agama (dulu Departemen Agama) RI dibentuk pada 2 Januari 1946, salah satu tugas Kementerian Agama adalah penetapan hari libur nasional dan penentuan awal bulan qamariyah yang terkait dengan peribadatan. Hal itu termuat dalam Penetapan Pemerintah Nomor 2/Um, 7/Um, 9/Um dan beberapa Keputusan Presiden terkait lainnya, antara lain Kepres Nomor 25/1967, 148/1968, dan 10/1967 (Asadurrahman, Disertasi “Kebijakan Pemerintah Indonesia tentang Hisab dan Rukyat”, 2011).
Sidang isbat (penetapan) awal Ramadhan dan Syawal yang dipimpin Meteri Agama secara resmi mulai dilakukan pada 1962 yang hampir semuanya terdokumentasi dengan baik dalam bentuk Surat Keputusan Menteri Agama RI. Pada sidang itsbat tersebut hasil hisab (perhitungan) dan rukyat (pengamatan) hilal awal bulan dikaji bersama untuk mendapatkan satu keputusan yang bersifat nasional. Penetapan diperlukan mengingat di masyarakat banyak beredar hasil hisab dan banyak pula pelaksana rukyat. Sidang isbat tidak membahas secara rinci substansi hisab dan rukyat, tetapi lebih bersifat menampung pendapat untuk menjadi bahan pertimbangan Menteri Agama dalam mengambil keputusan. Diskusi mendalam soal hasil hisab dan kemungkinan hasil rukyat umumnya dilakukan dalam Temu Kerja Badan Hisab Rukyat (BHR) dan pertemuan/lokakarya yang bersifat teknis hisab rukyat.
Dasar hukum sidang isbat lebih kuat lagi setelah dimasukkan dalam Undang-undang Nomor 3/2006 sebagai pengganti UU Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Pasal 52A menyatakan, “Pengadilan Agama memberikan isbat kesaksian kesaksian rukyat dalam penentuan awal bulan pada tahun Hijriyah”. Pasal ini diberikan penjelasan yang merupakan satu kesatuan dasar hukum dengan rincian sebagai berikut: “Selama ini pengadilan Agama diminta oleh Menetri Agama untuk memberikan penetapan (itsbat) terhadap kesaksian orang yang telah melihat atau menyaksikan hilal bulan setiap memasuki bulan Ramadhan dan awal bulan Syawal tahun Hijriyah dalam rangka Menteri Agama mengeluarkan penetapan secara nasional untuk penetapan 1(satu) Ramadhan dan 1 (satu) Syawal.”
Berikut gambaran pengamatan Badan Hisab Rukyat Kemenag RI dalam menentukan 1 Syawal 1433 H.
Keterangan gambar:
Hari Jum’at, tanggal 17 Agustus 2012, jam 22.54 WIB telah terjadi ijtima’ ( konjungsi). Pada keesokan harinya, tanggal 18 Agustus 2012 matahari lebih dulu tenggelam dari bulan sehingga posisi hilal sudah di atas ufuk sekitar 60 .
Gambar di bawah ini menjelaskan posisi hilal dan matahari pada saat tenggelam. Pengamatan dilakukan di Pelabuhan Ratu, Sukabumi, Jawa Barat.
Tinggi pusat bulan 6 derajat 65 menit. Visualisasi hilal yang berada di sebelah kiri atas matahari juga digambarkan dengan sabit yang lengkungannya ke arah kanan bawah. Tinggi 6 derajat 65 menit sudah memenuhi kriteria imkan rukyat kesepakatan “2-3-8″ (tinggi minimal 2 derajat, jarak bulan matahari minimal 3 derajat, atau umur bulan 8 jam).
Berdasarkan referensi empiris visibilitas ( ketampakan hilal) maka tampak tinggi hilal= 6.65 derajat; Jarak busur bulan dari matahari = 9.73 derajat; dan Umur hilal = 18 jam 59 menit 35 detik. Berdasarkan data diatas maka Badan Hisab Rukyat Kemenag RI merekomendasikan bahwa 1 Syawal jatuh pada hari Minggu, 19 Agustus 2012. //**
Penulis bersalaman dengan Menteri Agama RI, Bp. Drs. Suryadharma Ali, M.Si pada sidang isbat Awal Ramadhan 1433 H/ 19 Juli 2012, di Auditorium Kementerian Agama RI.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Alhamdulilah Jaza Kumullohu Khoiro , Atas Komentarnya Semoga Alloh Paring aman, selamat, lancar, berhasil, barokah...!