Dari jalur QHJ, saya pribadi pernah mendengar langsung secara panjang lebar pitutur mengenai Wali Al Fatah ini dalam usahanya ‘meramut’ Jamaah Darul Hadisnya KH. Ubaidah yang memang pada waktu itu amat sangat sering digegeri oleh massa dan media massa, tapi nyatanya tetap berdiri tegak sebagaimana Monas dengan izin Allah.
-
Begini cerita sebenarnya:
Pada awal mula kedatangan Wali Al Fatah (WAF) di Pondok Burengan, WAF dan 2 orang ‘staffnya’ mengunjungi KH. Ubaidah untuk mengajak bergabung Darul Hadis dengan tanzim yang baru dibentuknya (Jamaah Muslimin Hizbullah) sepeninggalnya dari partai Masyumi. Dengan dalih memperkuat islam berdasarkan QH, ia berani menjamin bhw nanti Jamaah Muslimin Hizbullah berani ‘pasang badan’ untuk setiap kegiatan pengajian2 QH Darul Hadis yang sering digegeri massa.
KH. Ubaidah yang memang dari semula menginginkan agar QHJ ini lancar berkembang berbarokah, setuju dengan ide awalnya. Dari pertemuan awal maka muncullah suatu kesepakatan: Wali Al Fatah sebagai Imam yang mengatur umat, dan KH. Ubaidah sebagai Ulama rujukan masalah2 agama islam. Pertanyaannya, apakah pada kesepakatan itu KH. Ubaidah berbaiah kepadanya sebagaimana klaim dari salafi indon yang seperti biasa super ngawur? Tidak.
Sebab pada masa itu KH. Ubaidah belum berani mengangkat bab masalah imamah kecuali hanya kepada 3 orang saja yang pada tahun 1941 telah menobatkan KH. Ubaidah sebagai amirul mu’minin. Siapa saja 3 orang ini? Mereka adalah: H. Nur Asnawi, H. Bahran, H. Sanusi. Nama terakhir adalah kakak kandung dari KH. Ubaidah. Bahkan ketika pertama kali WAF datang kepada KH. Ubaidah pada tahun 1953, para murid KH. Ubaidah di forum Darul Hadis belum sekalipun diturunkan ilmu mengenai bab imamah. Baru seputar sholat dan kewajiban2 umum muslimin saja. Hal ini sesuai dengan penyaksian murid2 KH. Ubaidah yang tentu saat ini mereka sudah lanjut usia.
Satu lagi, kenapa saya bilang KH. Ubaidah nggak mungkin berbaiah dengan WAF?
Ingat dalil “fu bil bai’atul awal fal awal” kan?, tentu saja ketika KH. Ubaidah bersepakat dengan WAF pada waktu itu ia pun memberi kesempatan kepada murid2 Darul Hadis agar berbaiah kepada WAF (jika mereka mau), namun yang perlu diketahui, hal ini tentunya tidak berlaku bagi KH. Ubaidah beserta 3 orang yang sudah pernah mengangkatnya sebagai amirul mu’minin pada tahun 1941. Karena hal itu pasti akan kontradiktif dengan syariat QH yang dipegangnya sejak beliau menuntut ilmu di Makkah Al Mukarramah.
Tidak sampai berapa lama, janji tinggallah janji. Ternyata WAF sendiri tidak bisa dibilang sebagai orang yang bisa memegang amanat. Dari kesepakatan ingin menegakkan islam secara jamaah, ternyata beliau mempunyai niat yang berbeda yang cenderung ke arah politik (duniawi). Setelah banyak ditemui kejanggalan2 dari gerak geriknya yang tidak sak dermo, maka KH. Ubaidah beserta seluruh muridnya keluar dari tanzim Jamatul Muslimin Hizbullah dengan membentuk YPID (Yayasan Pendidikan Islam Djamaah), karena nama Darul Hadis sudah dilarang oleh pemerintah waktu itu, khususnya di daerah Jawa Timur.
Dari sini saya tidak akan menerangkan bagaimana kelanjutan tanzim YPID seterusnya, karena saya yakin para pembaca disini sudah lebih faham tentang sejarah QHJ daripada saya.
II. JALUR LUAR QHJ
Silakan dipikirkan dan diperhatikan baik baik
1. Jika pun Wali Al Fatah ini membawa misi QHJ yang sebenar benarnya (bukan berbasis keduniaan), mengapa ia tidak mau gabung dengan jamaahnya SM. Kartosuwiryo yang sudah di baiah lebih dulu tahun 1949? Kenapa ia malah membentuk tanzim/jamaah tandingan pada tahun 1953? Apa niat sebenarnya mendirikan “jamaah” tandingan ini?
2. Banyak warga QHJ sendiri menyaksikan bhw WAF bukanlah orang yang faqih dalam ilmu agama, ia hanyalah seorang utusan pemerintah rezim orde lama untuk “menandingi” kekuatan jamaah SM. Kartosuwiryo yang pada waktu itu memang sangat ekstrim, apalagi mereka tidak mau mengakui adanya pemerintah yang dipimpin oleh Bung Karno yang nasionalis. Bahkan pemikiran SM. Kartosuwiryo lebih didukung oleh Hasan Tiro (mantan tokoh GAM). Karena WAF tidak memiliki modal keagamaan yang mumpuni, maka ketika sayup sayup didengar ada seorang ulama yang “sakti mandraguna”, dari Jawa Timur (KH. Ubaidah), maka segeralah ia mengajak bergabung bersama dengan tujuan agar tanzimnya kuat menghadapi tanzim SM. Kartosuwiryo.
Konotasi “sakti mandraguna” ini maksudnya adalah meski hampir di setiap pengajian yang diadakan KH. Ubaidah selalu digegeri massa, namun nyatanya tetap saja berdiri kokoh atas izin Allah. Hal ini justru menarik WAF dimana beliau adalah ahli dalam bidang politik pada rezim Orde Lama. (WAF adalah seorang wartawan yang juga Kepala Biro Politik).
3. Banyak yang menyaksikan bhw WAF bukanlah tipe orang yang bisa dipegang omongannya. Hal ini terbukti juga dari sepenggal sejarah berdirinya tanzim SM. Kartosuwiryo (NII). Ini sedikit cuplikannya:
23 Januari 1950
Peristiwa APPRA
Tahun 50 awal
RIS mulai bekerja dengan menarik M. Natsir sebagai PM pertama Indonesia. Pengangkatan M. Natsir disebabkan citra Sukarno yang telah terlibat PKI yang jelas musuh Islam khususnya dan masyarakat umumnya, maka dalam rangka menenangkan suasana juga dalam rangka azas manfaat tokoh-tokoh Islam yang membelot dengan mendudukan mereka di Parlemen RIS dalam menghadapi NII mengambil langkah pertamanya dengan diplomatik, diperintahkan Natsir untuk berupaya menundukan Imam SM Kartosuwiryo, maka diutuslan seorang ulama besar, A Hasan, namun sekembalinya dari berhadapan dengan Imam SM Kartosuwiryo, justru A Hasan kalah hujjah malah taslim kepada NII yang kemudian ditugaskan untuk bergerak di perkotaaan dengan menempatkan PERSIS sebagai lembaga pendidikan NII di perkotaan, sebagai akibat pada komitmen pada NII A Hasan tidak berusia lama dari kejadian tersebut beliau wafat ditembak seorang yang tidak dikenal. Selanjutnya Natsir mengutus Wali Al-Fatah untuk berhujah menghadapi Imam SM Kartosuwiryo akhirnya wali Al-Fatah kalah hujjah juga. Namun Wali Al-Fatah sekembalinya dari gunung mengatakan bahwa dialah yang menang hujjah dan malah mengatakan bahwa dialah sekarang yang memegang komando, tetapi tidak berpengaruh banyak.
- Begini cerita sebenarnya:Pada awal mula kedatangan Wali Al Fatah (WAF) di Pondok Burengan, WAF dan 2 orang ‘staffnya’ mengunjungi KH. Ubaidah untuk mengajak bergabung Darul Hadis dengan tanzim yang baru dibentuknya (Jamaah Muslimin Hizbullah) sepeninggalnya dari partai Masyumi. Dengan dalih memperkuat islam berdasarkan QH, ia berani menjamin bhw nanti Jamaah Muslimin Hizbullah berani ‘pasang badan’ untuk setiap kegiatan pengajian2 QH Darul Hadis yang sering digegeri massa.KH. Ubaidah yang memang dari semula menginginkan agar QHJ ini lancar berkembang berbarokah, setuju dengan ide awalnya. Dari pertemuan awal maka muncullah suatu kesepakatan: Wali Al Fatah sebagai Imam yang mengatur umat, dan KH. Ubaidah sebagai Ulama rujukan masalah2 agama islam. Pertanyaannya, apakah pada kesepakatan itu KH. Ubaidah berbaiah kepadanya sebagaimana klaim dari salafi indon yang seperti biasa super ngawur? Tidak.Sebab pada masa itu KH. Ubaidah belum berani mengangkat bab masalah imamah kecuali hanya kepada 3 orang saja yang pada tahun 1941 telah menobatkan KH. Ubaidah sebagai amirul mu’minin. Siapa saja 3 orang ini? Mereka adalah: H. Nur Asnawi, H. Bahran, H. Sanusi. Nama terakhir adalah kakak kandung dari KH. Ubaidah. Bahkan ketika pertama kali WAF datang kepada KH. Ubaidah pada tahun 1953, para murid KH. Ubaidah di forum Darul Hadis belum sekalipun diturunkan ilmu mengenai bab imamah. Baru seputar sholat dan kewajiban2 umum muslimin saja. Hal ini sesuai dengan penyaksian murid2 KH. Ubaidah yang tentu saat ini mereka sudah lanjut usia.Satu lagi, kenapa saya bilang KH. Ubaidah nggak mungkin berbaiah dengan WAF?Ingat dalil “fu bil bai’atul awal fal awal” kan?, tentu saja ketika KH. Ubaidah bersepakat dengan WAF pada waktu itu ia pun memberi kesempatan kepada murid2 Darul Hadis agar berbaiah kepada WAF (jika mereka mau), namun yang perlu diketahui, hal ini tentunya tidak berlaku bagi KH. Ubaidah beserta 3 orang yang sudah pernah mengangkatnya sebagai amirul mu’minin pada tahun 1941. Karena hal itu pasti akan kontradiktif dengan syariat QH yang dipegangnya sejak beliau menuntut ilmu di Makkah Al Mukarramah.Tidak sampai berapa lama, janji tinggallah janji. Ternyata WAF sendiri tidak bisa dibilang sebagai orang yang bisa memegang amanat. Dari kesepakatan ingin menegakkan islam secara jamaah, ternyata beliau mempunyai niat yang berbeda yang cenderung ke arah politik (duniawi). Setelah banyak ditemui kejanggalan2 dari gerak geriknya yang tidak sak dermo, maka KH. Ubaidah beserta seluruh muridnya keluar dari tanzim Jamatul Muslimin Hizbullah dengan membentuk YPID (Yayasan Pendidikan Islam Djamaah), karena nama Darul Hadis sudah dilarang oleh pemerintah waktu itu, khususnya di daerah Jawa Timur.Dari sini saya tidak akan menerangkan bagaimana kelanjutan tanzim YPID seterusnya, karena saya yakin para pembaca disini sudah lebih faham tentang sejarah QHJ daripada saya.II. JALUR LUAR QHJSilakan dipikirkan dan diperhatikan baik baik1. Jika pun Wali Al Fatah ini membawa misi QHJ yang sebenar benarnya (bukan berbasis keduniaan), mengapa ia tidak mau gabung dengan jamaahnya SM. Kartosuwiryo yang sudah di baiah lebih dulu tahun 1949? Kenapa ia malah membentuk tanzim/jamaah tandingan pada tahun 1953? Apa niat sebenarnya mendirikan “jamaah” tandingan ini?2. Banyak warga QHJ sendiri menyaksikan bhw WAF bukanlah orang yang faqih dalam ilmu agama, ia hanyalah seorang utusan pemerintah rezim orde lama untuk “menandingi” kekuatan jamaah SM. Kartosuwiryo yang pada waktu itu memang sangat ekstrim, apalagi mereka tidak mau mengakui adanya pemerintah yang dipimpin oleh Bung Karno yang nasionalis. Bahkan pemikiran SM. Kartosuwiryo lebih didukung oleh Hasan Tiro (mantan tokoh GAM). Karena WAF tidak memiliki modal keagamaan yang mumpuni, maka ketika sayup sayup didengar ada seorang ulama yang “sakti mandraguna”, dari Jawa Timur (KH. Ubaidah), maka segeralah ia mengajak bergabung bersama dengan tujuan agar tanzimnya kuat menghadapi tanzim SM. Kartosuwiryo.Konotasi “sakti mandraguna” ini maksudnya adalah meski hampir di setiap pengajian yang diadakan KH. Ubaidah selalu digegeri massa, namun nyatanya tetap saja berdiri kokoh atas izin Allah. Hal ini justru menarik WAF dimana beliau adalah ahli dalam bidang politik pada rezim Orde Lama. (WAF adalah seorang wartawan yang juga Kepala Biro Politik).3. Banyak yang menyaksikan bhw WAF bukanlah tipe orang yang bisa dipegang omongannya. Hal ini terbukti juga dari sepenggal sejarah berdirinya tanzim SM. Kartosuwiryo (NII). Ini sedikit cuplikannya:23 Januari 1950Peristiwa APPRATahun 50 awalRIS mulai bekerja dengan menarik M. Natsir sebagai PM pertama Indonesia. Pengangkatan M. Natsir disebabkan citra Sukarno yang telah terlibat PKI yang jelas musuh Islam khususnya dan masyarakat umumnya, maka dalam rangka menenangkan suasana juga dalam rangka azas manfaat tokoh-tokoh Islam yang membelot dengan mendudukan mereka di Parlemen RIS dalam menghadapi NII mengambil langkah pertamanya dengan diplomatik, diperintahkan Natsir untuk berupaya menundukan Imam SM Kartosuwiryo, maka diutuslan seorang ulama besar, A Hasan, namun sekembalinya dari berhadapan dengan Imam SM Kartosuwiryo, justru A Hasan kalah hujjah malah taslim kepada NII yang kemudian ditugaskan untuk bergerak di perkotaaan dengan menempatkan PERSIS sebagai lembaga pendidikan NII di perkotaan, sebagai akibat pada komitmen pada NII A Hasan tidak berusia lama dari kejadian tersebut beliau wafat ditembak seorang yang tidak dikenal. Selanjutnya Natsir mengutus Wali Al-Fatah untuk berhujah menghadapi Imam SM Kartosuwiryo akhirnya wali Al-Fatah kalah hujjah juga. Namun Wali Al-Fatah sekembalinya dari gunung mengatakan bahwa dialah yang menang hujjah dan malah mengatakan bahwa dialah sekarang yang memegang komando, tetapi tidak berpengaruh banyak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Alhamdulilah Jaza Kumullohu Khoiro , Atas Komentarnya Semoga Alloh Paring aman, selamat, lancar, berhasil, barokah...!