FORUM PENGAJIAN QUR'AN HADITS

"Kami hanya ingin menegakkan nilai-nilai Al-Quran dan Al-Hadits"
cbox

Kamis, 14 Agustus 2014

Kesesatan dan kekafiran adalah masalah ushuluddin atau aqidah, yang penetapan vonisnya adalah hak Allah, Rasul dan alim ulama kibar (ulama senior, atau perkumpulan ulama) bukan ulama abal-abal.

Non-LDII Sesat?
| |
Apakah orang yang tidak mengikuti/bergabung dalam
Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII) itu sesat? Apakah
kalau punya pemahaman atau pendapat yang berbeda dengan
LDII itu sesat? Pertanyaan ini tidak mudah untuk dijawab.
Mengapa? Karena kita tidak boleh gegabah mengatakan
orang lain sesat bahkan kafir. Kesesatan dan kekafiran adalah
masalah ushuluddin atau aqidah, yang penetapan vonisnya
adalah hak Allah, Rasul dan alim ulama kibar (ulama senior,
atau perkumpulan ulama) bukan ulama abal-abal.
Jika pertanyaan tersebut ditujukan untuk jama'ah Ahmadiyah
yang jelas-jelas bukan LDII/354/jokam, maka hal itu benar.
Ahmadiyah meyakini ada Rasul setelah Muhammad
shallallahu alaihi wasallam yakni Mirza Ghulam Ahmad. LDII
dan ahlus sunnah wal jama'ah (antara lain MUI,
Muhammadiyah, NU, Al Irsyad, Persis) meyakini Rasulullah
Muhammad shallallahu alaihi wasallam adalah khatamul
anbiya wal mursalin, nabi dan rasul yang terakhir,
berdasarkan dalil-dalil Al Qur'an, hadits dan kesepakatan para
ulama. Keyakinan ada tidaknya rasul setelah Muhammad
shallallahu alaihi wasallam adalah masalah keimanan atau
aqidah. Aqidah yang benar adalah meyakini tidak ada nabi
dan rasul setelah Muhammad shallallahu alaihi wasallam.
Jadi, keyakinan ada nabi setelah Muhammad shallallahu alahi
wasallam adalah keyakinan batil, salah, menyimpang, sesat.
Demikian pula jika pertanyaan tersebut ditujukan untuk
nashrani dan yahudi, vonis sesat dan kafir kedudukannya
sudah final dan tidak dapat diganggu gugat. Kenapa? Karena
aqidah mereka itu batil (menurut Islam). Seperti, Yesus anak
Tuhan/Allah, tidak mengakui kenabian dan kerasulan
Muhammad shallallahu alaihi wasallam, mengingkari kenabian
Isa alaihissalam, mengubah taurat menjadi talmud sesuka
nafsunya, dll.
Nah, bagaimana kalau vonis sesat itu dijatuhkan sebab fiqh
ibadah yang dilakukan, bukan masalah aqidah?
Contoh, sudah jamak diketahui bahwa jama'ah LDII khutbah
jum'atnya menggunakan bahasa Arab. Alasan LDII seperti
yang dimuat dalam website resminya cukup singkat, “karena
tidak ada satu pun ulama yang menyatakan bahwa khutbah
jum'at dengan bahasa Arab itu tidak sah, walaupun
mustami'in (pendengar) tidak seluruhnya bisa memahami isi
khubah. Seperti halnya ketika musim haji dimana imam
Masjidil Haram menyampaikan khutbah berbahasa Arab
sedangkan mustami'in yang datang dari seluruh dunia belum
tentu bisa mengerti isi khutbah tersebut.”
Alasan yang dikemukakan ini benar. Adakah ulama yang
mengatakan bahwa khutbah jum'at disampaikan dalam
bahasa Arab itu merupakan suatu kesalahan? Kalau khutbah
jum'at dengan bahasa Arab itu salah bagaimana dengan
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang khutbahnya pakai
bahasa Arab? Dan benar adanya, di Masjidil Haram khutbah
jum'atnya dalam bahasa Arab walaupun jama'ahnya dari
segala penjuru dunia yang bahasanya berbeda-beda.
Lha mayoritas di Indonesia khutbah jum'atnya dengan bahasa
Indonesia bukan bahasa Arab, lantas bagaimana? Tidak
sesuai dengan yang dilakukan Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam donk...... Berarti mayoritas kaum muslimin
Indonesia selama ini salah?
Tidak salah kalau kita memandang khutbah jum'at dengan
bahasa Indonesia ini sebagai ikhtilaf/khilafiyah fiqh semata,
sebagai perbedaan pendapat dalam fiqh. Oya, islam dibagi
dalam 2 bagian, yaitu aqidah/ushuluddin dan fiqh/furu'.
Aqidah adalah tentang keimanan, fiqh adalah seputar cabang-
cabang, seputar hukum-hukum, halal haram. Tapi, akan jadi
salah kalau dimasukkan ke dalam ranah aqidah.
Memang, tidak ada dalil yang mengatakan bahwa khutbah
jum'at dengan bahasa Arab itu tidak sah. Yang ada adalah
fakta bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan
khulafaurrasyidin khutbah jum'at dengan bahasa Arab. Dan
fakta ini bisa menjadi dalil khutbah jum'at dengan bahasa
Arab itu sah. Khilafiyahnya bukan pada penggunaan bahasa
Arab, tapi penggunaan bahasa selain Arab termasuk
Indonesia, Jawa, Sunda, dll.
Alim ulama dari 4 madzhab sepakat khutbah jum'at dalam
bahasa Arab adalah lebih baik. Mereka juga sepakat bahwa
tidak sah shalat jum'at tanpa khutbah. Tetapi mereka berbeda
pendapat tentang boleh tidaknya khutbah dengan bahasa
selain bahasa Arab. Pendapat yang melarang, misalnya dari
Al Qadhi Al Baghdadi Al Maliki, “Ibnu Al Qasim mengatakan,
'Tidak sah –di dalam khutbah-, kecuali harus disampaikan
dengan bahasa Arab'." (Al Ma’unah 1/306). Pendapat yang
melarang tetapi memberi batasan dan membolehkan, antara
lain pendapat dari Al Marwadi, seorang ulama madzhab
hanabilah, Tidak sah khutbah Jum’at dengan bahasa selain
Arab apabila mampu melakukannya berdasarkan pendapat
yang shahih dalam madzhab (Hambali). Ada pendapat yang
menyatakan hal tersebut diperbolehkan (sah) apabila tidak
memiliki kemampuan berbahasa Arab.” (Al Inshaf 5/219).
Pendapat lain yang membolehkan adalah Imam Al 'Izz bin
Abdis Salam, "Kewajiban khathib (saat berkhutbah) yaitu
tidak menggunakan kalimat-kalimat yang hanya diketahui oleh
orang-orang tertentu. Ini termasuk bid’ah yang buruk. Karena
sesungguhnya tujuan khutbah adalah memberi manfaat
kepada hadirin dengan memberikan targhib (anjuran
melakukan kebaikan) dan tarhib (ancaman dari kemaksiatan).
Serupa dengan hal itu adalah khathib berkhutbah kepada
bangsa Arab (tapi) dengan menggunakan kalimat-kalimat non
arab, yang tidak mereka fahami. wallahu a’lam." (Fatawa Al
‘Izz bin Abdis Salam, hal: 77-78. Dinukil dari Al Qaulul Mubin
fi Akhthail Mushallin, hlm: 371-372).
Nah, berhubung ada khilafiyah, maka toleransi saja. Kalau
LDII lebih memilih khutbah dengan bahasa Arab walau ada
jama'ahnya tidak faham materi khutbahnya, ya kita toleransi,
begitu juga kalau ada yang mantap dengan khutbah dalam
bahasa selain Arab, misalnya Jawa atau Bugis, agar
jama'ahnya bisa memahami dan melaksanakan wasiat/
nasehat taqwa, dan selama perbedaan ini disikapi dengan
benar, memasukkan masalah ini ke dalam ranah fiqh.
Tapi..... menjadi salah kalau dibawa ke ranah aqidah. LDII
meyakini kalau khutbahnya tidak pakai bahasa Arab maka
tidak sah. Karena itulah, warga LDII enggan shalat jum'at di
masjid yang bukan milik LDII karena takut (atau malah
meyakini?) shalat jum'atnya tidak sah sebagai akibat dari
khutbah jum'at yang tidak memakai bahasa Arab. Lho, di
mana ranah aqidahnya? Hadits menyebutkan bahwa tidak sah
shalat jum'at tanpa khutbah. LDII menganggap orang yang di
luar jama'ahnya sebagai orang sesat, ibadah dan kelimuan
orang non-LDII dinilai tidak sah, karena non-LDII ilmunya tidak
manqul dari Nur Hasan / Madigol pendiri Islam Jama'ah/LDII.
Shalat jum'at di masjid non-LDII berarti menjadikan warga
LDII bermakmum kepada non-LDII. Ibadah yang non-LDII tidak
akan sah karena ilmunya tidak sah, ilmunya tidak dari Madigol
(istilah mereka adalah manqul). Jadi menurut LDII, “Percuma
saja shalat jum'at di masjid non-LDII, udah ga dicontohkan
Rasul, imamnya kafir pula!”, begitu penuturan narasumber
yang kami dapatkan. Wait...... Kafir? Iya kafir. Vonis kafir dari
LDII kepada non-LDII ini karena non-LDII tidak berguru
kepada Madigol. LDII mengklaim hanya dari Madigol lah yang
ilmu dan ibadahnya sah, karena Madigol ini berguru langsung
ke gurunya yang berguru jika dirunut akan sampai pada
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, istilahnya adalah
sanad.
Ilustrasinya gini, Madigol berguru ke seorang syaikh, sebut
saja A. A berguru kepada syaikh B, B dapat ilmu dari syaikh
C, C dari D, D dari E, dan seterusnya sampai ke Rasulullah.
Kalau ilmu diambil dari orang-orang di luar jalur atau sanad
ini, maka dianggap tidak sah.
Keyakinan tersebut sebenarnya ceroboh. Terlalu dini
mengatakan orang-orang yang tidak manqul itu ilmunya tidak
sah atau tidak benar. Bisa saja ilmunya sah tapi bisa juga
salah.
Madigol mengambil ilmu dari A kita tuliskan sebagai Madigol
--- A. A berguru dari B, A --- B. B belajar agama dari C, B ---
C, dst sampai Rasulullah.
Kita tulis,
Madigol --- A --- B --- C --- D --- E ----------------------------
Rasulullah
Dikatakan, Madigol adalah ulama, maka guru dari Madigol ini
sudah tentu ulama juga (masa iya sih kita mau bikin fitnah
atau setidaknya negative thinking bahwa Madigol ini ulama
yang ilmunya diambil dari seorang preman? Mungkin ga sih
preman ngajari ulama?). Maka A, B, C, dst adalah ulama.
Biasanya, ulama memiliki banyak murid, apalagi ahli hadits.
Adalah hal yang tidak mungkin kalau sepanjang hidupnya
syaikh A hanya punya 1 murid yaitu Madigol seorang,
mengingat menurut klaim LDII Abah a.k.a Nur Hasan a.k.a
Madigol ini belajar dari pakar hadits yang sudah terkenal
mendunia. Nah, kita misalkan syaikh A mempunyai 2 murid,
yaitu Madigol dan P. P ini kemudian punya murid R dan S.
Bagaimanakah kalau ternyata ilmu agama kita itu dari R?
Lagi, B ternyata muridnya tidak hanya A, tapi juga T dan U.
Ulama/orang yang berguru kepada T ini adalah V. V punya
murid W dan X. Sementara U punya murid Y dan Y adalah
guru Z. Bagaimana kalau ngaji dari murid U atau V atau W
atau X atau Z? Sahkah ilmunya?
Misalkan sanad keilmuan adalah dari X, bisa dituliskan
non-LDII --- X --- V --- T --- A --- B --- C --- D --- E
---------------------------- Rasulullah.
Blunder bro! Di satu sisi, LDII katakan pola belajar dari selain
Madigol tidak sah. Tapi di sisi lain, ternyata guru dari non-LDII
itu punya kriteria yang sama dengan Madigol, yaitu sanad
keilmuannya sampai kepada Rasulullah. Sanad keilmuan ini
berpengaruh pada takfir (vonis kafir). Non-LDII divonis kafir
oleh LDII karena non-LDII tidak manqul, tidak sah sanadnya,
sanadnya ga sampai pada Rasulullah, belajarnya tidak dari
Madigol / Nur Hasan. Padahal, bisa jadi di antara sanad
keilmuan non-LDII itu ada nama Muhammad bin Idris Asy
Syafi'i, Ahmad bin Hambal, Abu Hanifah An Nu'man Taimillah
bin Tsa'labah, Malik bin Annas, Muhammad bin Isa At
Tirmidzi, Abu Abdur Rahman Ahmad bin Ali bin Syuaib An
Nasa'i, Yahya bin Syaraf bin Hasan bin Husain An Nawawi,
Abul Hasan Muslim bin Hajjaj bin Muslim bin Warad bin
Kausyaz Al Qusyairi, Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin
Ibrahim bin Al Mughirah Al Bukhari.
Sekali lagi, takfir ini masuk ranah aqidah. Takfir juga tidak
bisa diberikan kepada sembarang orang. Takfir juga tidak
semua orang bebas melakukannya, takfir adalah hak para
ulama. Inilah yang kami maksud, dibawa ke ranah aqidah.
Pertanyaannya sekarang, adakah ulama yang mengatakan
bahwa barang siapa yang khutbah jum'at dengan bahasa
selain bahasa Arab maka dia sesat? Atau bahkan disebutkan
maka dia kafir?
Maka, pandangan LDII yang memvonis non-LDII sebagai sesat
atau bahkan kafir adalah gegabah. Tetapi, kesesatan LDII,
sudah ada fatwanya dari MUI walau memang tidak tersirat
menyebut LDII tetapi menyebut islam jama'ah yang ternyata
ajaran islam jama'ah ini sama dengan LDII, dan sampai
sekarang, belum ada perubahan dari keputusan MUI tersebut.


*Pantau dakwah islam
*lembaga dakwah kemuliaan islam
*babatalaz
*sang penengah
*sang pencerah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Alhamdulilah Jaza Kumullohu Khoiro , Atas Komentarnya Semoga Alloh Paring aman, selamat, lancar, berhasil, barokah...!