FORUM PENGAJIAN QUR'AN HADITS

"Kami hanya ingin menegakkan nilai-nilai Al-Quran dan Al-Hadits"
cbox

Sabtu, 23 Agustus 2014

Al Manshuuriin

Al-Manshuuriin
Dalam
sejarah
perkembangan Islam di Indonesia kita mengenal beberapa
aliran islam mainstream dan non-mainstream. Meski sudah
sejak era Wali Songo islam mulai tersohor di bumi nusantara,
namun ternyata kekuatan gerak islamiyah lebih menyolok di
era pasca kemerdekaan Republik Indonesia. Hal ini ditandai
oleh munculnya beberapa harokah islamiyah garis keras, yang
menginginkan syariat islam ditegakkan di Indonesia dan
menolak mentah-mentah hukum positif warisan Belanda.
Pergerakan ini tidak dilakukan oleh 2 (dua) aliran islam
mainsteam yang ada, melainkan oleh kelompok-kelompok
islam radikal semisal DI/TII, NII, dan kelompok Warman. Di
bumi nusantara bagian timur terkenal dipimpin oleh Kahar
Muzakkar, dan di barat dipimpin oleh SM. Kartosoewiryo.
Dari pemaparan beberapa pelaku sejarah “Perang Janur
Kuning Jogjakarta”, nama Kahar Muzakkar pun ikut disebut-
sebut sebagai salah satu pemimpin perebutan kemerdekaan
terhadap agresi Belanda di Sulawesi. Artinya, seorang Kahar
Muzakkar yang pada akhirnya dianggap sebagai pemberontak
pun sebenarnya memiliki andil terhadap bangsa ini dalam
merebut kemerdekaan. Namun setelah bangsa ini berangsur-
angsur lepas dari penjajahan, seiring itu pulalah terjadi konflik
internal untuk mendaulat republik ini agar bersyariat islam,
atau dengan kata lain beberapa pihak terang-terangan ingin
menjadikan status negara ini sebagai salah satu negara Islam
di dunia. Dalam perjalanannya sangat disayangkan, kelompok-
kelompok radikal ini menghalalkan segala cara demi
mencapai tujuan. Salah satunya adalah menghalalkan
mengambil harta benda milik rakyat Indonesia sendiri.
Sehingga bisa dibayangkan seperti apa isi pikiran rakyat
Indonesia pada waktu itu: “keluar dari mulut harimau, masuk
ke mulut buaya?”. Wallahu a’lam. Padahal kala itu juga
pemerintah Indonesia masih dipusingkan oleh agresi kedua
Belanda tahun 1949, dan konflik kepentingan antara presiden
pertama Republik Indonesia, Ir. Soekarno, dengan salah satu
tokoh pergerakan kemerdekaan, Tan Malaka.
Singkat cerita, pada pertengahan era orde baru, ketegangan
demi ketegangan memuncak, dimana friksi-friksi yang terjadi
antara pemerintah kala itu dengan beberapa kelompok islam
radikal ini akhirnya menyebabkan hampir seluruh organisasi
berbasis islam di indonesia otomatis dianggap oposan
pemerintah. Walhasil, kelompok-kelompok islam kecil lah yang
banyak menerima imbas buruknya dari pertikaian gerakan-
gerakan islam dengan pihak otoritas pada waktu itu dibanding
kelompok-kelompok islam yang telah memiliki nama besar.
Diantara kelompok-kelompok dakwah islam yang masih kecil
pada waktu itu adalah Darul Hadits dengan beberapa
kembangannya semisal YCI (Yayasan Citra Islam), KSPI
(Keluarga Studi Pemuda Islam), KADIM (Karyawan Dakwah
Islam), dan ASPI (Aspirasi Pemuda Islam). Darul Hadits
sendiri merupakan suatu kelompok pengajian Qur’an-Hadits
yang dipimpin oleh seorang ulama muda lulusan ma’had Darul
Hadits di Mekkah Al-Mukarramah, Nurhasan Al-Ubaidah bin
Abdul ‘Aziiz (1908-1982). Konon kelompok pengajian ini
sangat peduli terhadap tauhid, akhlak, akidah, dan pemurnian
tata laksana peribadatan ummat islam kala itu yang masih
banyak dianggap menyimpang dari sumbernya: Qur’an dan
Hadits (as-Sunnah). Ditinjau dari sisi manapun, melalui
perjalanan panjang sejarah tandzim dakwah islamiyah ini,
Darul Hadits eksis bertujuan untuk membetulkan seluruh
sendi pengamalan ibadah rakyat Indonesia yang masih
banyak menyimpang dari Qur’an dan Hadits, tanpa perlu
melakukan konfrontasi dengan pihak otoritas, orde lama,
maupun orde baru. Tidak seperti tudingan orang-orang yang
tidak mengerti sejarah esensi perjuangan amar ma’ruf nahi
munkar-nya, mereka menuding bahwa Syeikh Nurhasan Al-
Ubaidah rahimahullah ingin mendirikan ‘negara dalam negara’.
Tapi sampai hari wafatnya, hal tesebut bahkan sama sekali
tidak terbukti.
Kaidah keislaman para muslimin di Indonesia pada waktu itu
dinilai masih banyak terikat dengan kelakuan-kelakuan
peribadatan yang sebenarnya bertentangan dengan aturan-
aturan Allah dan Rasul shallallahu ‘alaihi wassalaam dengan
pemaparan dalil-dalil syar’i olehnya. Era ini disebut-sebut
sebagai era “Babat Alas” [1]. Suatu masa dimana perjalanan
amar ma’ruf nahi munkar Syeikh Nurhasan Al-Ubaidah kepada
sanak famili, teman-teman, dan sejawat-sejawat ulama dilalui
dengan berbagai rintangan fisik maupun metafisik, sebagai
hasil dari metode amar ma’ruf nahi munkar-nya yang dikenal
keras. Beliau berpesan kepada para santrinya bahwa
terkadang amar ma’ruf nahi munkar itu memerlukan sikap
yang tegas. Beliau pun sangat bertanggung jawab terhadap
reaksi masyarakat atas metode-nya itu, dan memberi
gambaran metode “babat alas” tersebut seperti ini:
“gambarannya seperti ada orang yang tertidur di bantalan rel
kereta api, sudah berkali-kali diperingatkan / diteriaki bahwa
ada kereta yang akan lewat, ia malah terlelap tidur. Akhirnya
si orang tidur tadi dibangunkan dengan cara paksa, yakni
dengan diseret ke tepi agar ia selamat. Meski pada awalnya
orang yang tertidur tadi marah-marah karena diseret paksa,
namun bilamana ia sadar bahwa justru ia diselamatkan
hidupnya, insya Allah ia akan berterima kasih”.
Sering kali syeikh memberi motivasi kepada para santrinya
yang menemui banyak rintangan dan cobaan atas ‘hasil jerih
payah’-nya beramar ma’ruf nahi munkar dengan beberapa
gandangan (bahasa Jawa: senandung) yang salah satunya
adalah gandangan “kembang turi”. Isinya kurang lebih begini:
“kembang turi lak melok-melok, sego wadang sisane sore, ora
peduli wong alok-alok, sandang pangan lak golek dewe”.
Intisarinya adalah: jangan jatuh mental dalam beramar ma’ruf
nahi munkar, jangan pedulikan orang lain yang mengolok-olok,
toh urusan sandang dan pangan kita mencari sendiri, dan
tidak meminta-minta kepada mereka yang mengolok-olok.
Meski terkesan remeh, namun gandangan seperti ini
merupakan warisan tradisi kejenakaan yang cerdas ala kyai-
kyai tradisional tanah Jawa dalam berkelakar namun memiliki
arti dan filosofi yang sangat dalam. Semisal teka-teki longan
(bahasa Jawa: kolong meja atau kolong tempat tidur).
“Apakah longan itu tetap ada jika meja atau tempat tidur
dipindahkan? Jadi, apakah longan itu benar-benar ada?”. Atau
semisal KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang pernah
berkelakar pada acara pembukaan website Akbar Tandjung:
“Kenapa setiap orang berpidato selalu menyatakan: Mari kita
panjatkan syukur? Memangnya (si) Syukur nggak bisa manjat
sendiri?” (Fachry Ali, Gatra, Mei 2008).
Meski dijuluki mustadid (orang yang luar biasa) oleh sejawat-
sejawat ulama, Syeikh Nurhasan Al-Ubaidah rahimahullah
bukanlah termasuk orang yang jummud (kaku), terkadang
syeikh menghibur santri-santrinya sebagaimana cerita yang
berkembang seperti; pernah suatu ketika dalam
membangunkan santri-santrinya untuk sholatul lail atau
sholat malam (tahajjud), syeikh tidak segan-segan berjoget
menghibur santri-santrinya yang masih terkantuk-kantuk
dengan sapu ijuk, yang syeikh gambarkan sebagaimana kuda
lumping. Dari hal itulah tersirat, syeikh mencontohkan kepada
santri-santrinya, bahwa dalam suasana apapun orang-orang
yang menegakkan hujjatullah harus tetap gembira dan ceria,
mesti dalam kondisi yang membencikan, atau dalam kondisi
sedang mendapat cobaan sekalipun dari Allah Ta’ala.
Sebagaimana anggota pramuka yang selalu menghibur dirinya
di kala apapun: “buat apa susah? buat apa susah? susah itu
tak ada gunanya”.
Masih teringat dari beberapa saksi sejarah perjalanan era
“babat alas” semisal Al-Hafidz Syeikh Su’udi Ridwan
rahimahullah, maupun Syeikhul Hadits Kasmudi As-Shiddiqqy
bercerita bahwa seringkali Syeikh Nurhasan Al-Ubaidah
menerima banyak ‘bingkisan’ dari orang-orang, bahkan ulama-
ulama tradisional yg tidak sepaham dengannya berupa teluh,
santet, dan benda-benda ‘terbang’ aneh lainnya yang tidak
bisa diterima oleh akal sehat manusia modern. Semua itu
Beliau hadapi dengan sabar, tawakkal, serta yang paling
penting adalah doa. Tentang doa kepada Allah Ta’ala, dari
penuturan Syeikh Nur Asnawi rahimahullah, salah satu rekan
menuntut ilmunya di Mekkah-Medinah dulu, menceritakan
bahwa syeikh sangat yakin akan doanya kepada Allah Ta’ala.
Pernah suatu ketika di Mekkah, ada seorang temannya
kelaparan tidak punya beras (makanan) untuk dimasak,
akhirnya Syeikh Nurhasan Al-Ubaidah berdoa agar Allah
Ta’ala memberikan beras yang bisa untuk dimasak saat itu
juga. Walhasil, doanya maqbul. Allah Ta’ala mengabulkan
permintaannya!. Bagi kita yang awam memang agak sulit
menerima cerita-cerita ‘tidak masuk akal’ semacam ini.
Namun kenyataannya memang demikian, apalagi cerita ini
diperoleh dari saksi hidup kala itu, Syeikh Nur Asnawi
rahimahullah. Bahkan salah satu santrinya yang saat ini telah
menjadi salah satu ulama di Pondok Pesantren Kertosono,
Ustadz Ubaid Khairi, pernah punya pengalaman spiritual yang
sama seperti Syeikh Nurhasan Al-Ubaidah, yakni langsung
dikabulkan doanya semasa ia dan keluarga sedang
menghadapi kesulitan ekonomi. “Setelah bermunajat di dalam
bis kota yang mangantar saya dan anak istri pulang ke
rumah. Allah langsung memberi saya uang tunai. Bahkan
saya dan keluarga bisa mempergunakan uang itu untuk
keperluan sehari-hari selama kurang lebih 2 (dua) bulan...”,
tuturnya tatkala ia didapuk (bahasa Jawa: dinobatkan)
sebagai salah satu penyampai materi pada camping Cinta
Alam Indonesia di Cikole, Bandung, beberapa tahun silam.
Cerita yang sama, di zaman yang berbeda. Believe it or not.
Pada akhirnya sebagai manusia biasa, Syeikh Nurhasan Al-
Ubaidah rahimahullah dipanggil menghadap Yang Maha
Kuasa pada Februari 1982 dan dimakamkan di pemakaman
keluarga, Marga Kaya, Karawang, Jawa Barat. Namun
demikian warisan semangatnya untuk menegakkan
kalimatullah di negeri ini, agar Allah dan Rasul shallallahu
‘alaihi wassalaam tidak didustakan oleh setiap manusia, tetap
ada dalam diri sanubari masing-masing generasi penerus
pejuang agama yang secara ilmu-pun masih terlampau jauh
ketimbang Beliau, yang diberi julukan mustadid (orang yang
luar biasa). Luar biasa, karena Beliau al-Hafidz, menguasai
bacaan Qiraatus-Sab’ah, mufassir yang mumpuni, menguasai
Mustholah Hadits, menguasai ilmu alat, mengerti taraf ilmu
dari terminologi wajib, sunnah, makruh, mubah, menguasai
ilmu dari 49 perowi hadits beserta sanad-nya yang muttashil
sampai Baginda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalaam,
gemar bekerja keras, tidak pernah takut dengan kondisi
kehidupan apapun kecuali hanya takut kepada Allah Ta’ala,
seorang hamba yang sangat percaya qodarullah dan nashrun
minallah, ahli dalam berdoa, ulama yang dicintai santri-
santrinya sekaligus dibenci oleh orang-orang yang belum bisa
menerima al-Haqq ini secara utuh dan murni, dan lain-lain.
Namun jangan lupa satu hal, semua izzah itu didapatkannya
atas dasar usaha, kerja keras, dan kecintaannya terhadap al-
Haqq, tidak didapatkannya dengan cara santai, bersenda
gurau, main-main (lahan), atau dengan istirahatnya badan.
Beliau menimba ilmu agama ini sekitar 10 tahun di Mekkah-
Medinah, dimulai pada tahun 1930-an sampai tahun 1941.
Syeikh Nurhasan Al-Ubaidah tetaplah seorang hamba Allah
Ta’ala yang memiliki kekurangan. Namun kebajikan
kebajikannya-lah yang mesti diambil sebagai manfaat agar
berkah Allah Ta’ala tetap atas kita semua. “khoirun naasi
man yanfa’uhum lin naas”, “sebaik-baiknya manusia adalah
yang banyak memberi manfaat kepada manusia lainnya”.
Tahun berganti, zaman pun berubah. Dimana manhaj (metode
dakwah) Darul Hadits yang pertama kali datang pada tahun
1941 di Indonesia, justru saat ini telah banyak orang dan
kelompok dakwah yang mengadopsinya. Diakui atau tidak,
dari beberapa ulasan dan website islam yang mudah
ditelusuri, banyak individu-individu dan ulama-ulama zaman
ini yang pada akhirnya secara jujur maupun tidak, mengerti
bahwa pergerakan dakwah islamiyah mereka mempunyai
kemiripan dengan apa yang dulu digerakkan oleh Syeikh
Nurhasan Al-Ubaidah sejak tahun 1941 di Indonesia, yaitu
merujuk pada tata cara ibadah ummat islam yang hakiki, yang
wajib, yang menurut sumber aslinya: Qur’an dan Hadits, tanpa
harus tercampur aduk dengan adat istiadat warisan ummat
Hindu-Buddha atau Animisme-Dinamisme di Indonesia, yang
justru bisa menjadikan agama islam ini semakin jauh dari
kemurniannya. Padahal jelas dalam Al-Qur’an, Allah Ta’ala
memerintahkan agar kita selalu memurnikan agamanya...
“mukhlishiina lahud diin”
Dalam salah satu buku terbitan Madani Institute, manhaj yang
berasal dari Jazirah Arab dan diwariskan oleh Syeikh
Nurhasan Al-Ubaidah rahimahullah ini, dimasukkan ke dalam
konteks pergerakan salafiyyah (salafism). Yaitu pergerakan
islam yang menomorsatukan pemurnian islam, yang
sebagaimana Rasullullah shallallahu ‘alaihi wassalaam dan
sahabat-sahabatnya contohkan, sebelum akhirnya islam
sendiri terpecah belah. Dengan kata lain, manhaj yang
merujuk pada tata cara ibadah dari 3 generasi awal
datangnya islam.
Apakah manhaj yang diadopsi oleh Darul Hadits ini disebut
ahlussunnah wal jamaah, salafiyyah, atau wahhabiyyah,
bukan merupakan issue yang substansial. Sebab
sebagaimana kutipan nasehat Syeikh Salih Fauzan
rahimahullah, “siapapun bisa menyandang gelar salafiyyun
atau ahlussunnah wal jamaah, namun yang penting adalah
esensinya ibadahnya”. Tapi lucunya, kabarnya Darul Hadits
dulu sempat diberi beberapa julukan yang nyeleneh oleh
orang-orang yang tidak sepaham, dengan julukan semisal:
Jamaah mbah Syuro, Jamaah Takfir, Neo-Khawarij, Islam
Puritan, Islam Jawa, Islam Murni, Wahhabi, PKI putih, dan
lain-lain. Namun hal itu tidak lantas menyurutkan potensi
amar ma’ruf nahi munkar sampai saat ini. Karena memang
itulah cobaan menjadi manusia yang beriman secara
konsekuen kepada Allah Ta’ala. Sangat cocok dengan dalil
ini... “huffatul jannati bil makarih, wa huffatun naari bis
syahwat”, “surga itu dikelilingi oleh hal-hal yang
membencikan... dan seterusnya”. Artinya, tidak mudah
mencari surga Allah Ta’ala. Pasti ada rintangan dan cobaan.
Namun pastinya, hingga sekarang soal penjulukan, gelar, atau
penisbatan, kosa kata al-Manshuuriin, atau Thaifah al-
Manshuurah (golongan yang mendapat pertolongan Allah
Ta’ala) lebih disukai bagi hampir seluruh individu generasi
penerus Syeikh Nurhasan Al-Ubaidah, daripada penggunaan
kosa kata Salafi, Wahhabi, Ahlussunnah Wal Jamaah,
Madzhabiyyah, atau penisbatan lainnya. Sesuai pula dengan
dalil dalam kitabullah yang menyebutkan... “haqqun ‘alaina
nunjil mu’miniina”, dan hujjah ini... “maa yaf’alullohu bi
‘adzaabikum in syakartum wa aamantum”, “wajib atas Kami
(Allah) menolong orang-orang yang beriman”, dan lain-lain.
Tidak masalah dengan urusan julukan, karena pada akhirnya,
yang penting adalah bagaimana tata cara ibadah kita kepada
Allah Ta’ala. Julukan apapun tidak bisa dijadikan bekal bagi
seseorang untuk berhasil masuk surga, dan terselamatkan
dari api neraka. Hanya amal ibadah dan atas rahmatNya-lah
yang menjadi penentu suksesnya manusia di kehidupan
akhirat nanti kelak.
Demikian sekilas cerita mengenai sosok Syeikh Nurhasan Al-
Ubaidah rahimahullah, yang mungkin hal ini bisa jadi
merupakan suatu ikhtiar pemulihan nama baik terhadap
berita-berita miring yang selama ini berkembang mengenai
diri dan metode dakwahnya, yang pada kenyataannya malah
bertentangan dengan apa yang telah syeikh perjuangkan
sampai akhir hayatnya. Suatu ikhtiar yang diilhami oleh “Surat
Surat Bersih Diri Muhammad bin Abdil Wahhab”.
Sehubungan dengan hal ini, sebagai referensi agar kita lebih
mengerti seperti apakah sosok seorang ‘alim ulama (ahli
ilmu) yang dipandang berkualitas, hebat, atau mumpuni, Imam
al-Shatibi rahimahullah lebih jauh telah menarik kesimpulan,
bahwa ada 3 (tiga) karakteristik pokok seorang ulama yang
dipandang berkualitas, hebat, atau mumpuni:
1) Ia melaksanakan apa-apa yang ia ucapkan/ajarkan.
Telah terbukti bahwa Beliau selalu konsekuen menjalankan
apa-apa yang ia ajarkan kepada santri-santrinya, tentunya
semua yang sesuai dengan kaidah Qur’an, Hadits, Ijma’, dan
Qiyas yang tidak bertentangan dengan aturan-aturan Allah-
Rasul. Bahkan para santrinya meniru apa saja yang Beliau
lakukan dalam beribadah kepada Allah, dikarenakan mereka
(santri) yakin bahwa amalan Beliau tidak lepas dari Qur’an
dan Hadits. Hal tersebut bukan termasuk taklid membabi
buta, karena selalu diiringi dengan ilmu. Bahkan menurut
kesaksian para orang-orang terdahulu yang pernah se-zaman
dengannya, Beliau mengeluarkan sayembara yang berlaku
sampai akhir hayatnya: Beliau bersedia memberikan motor
bagi siapapun yang mengetahui bahwa ada amal
perbuatannya yang tidak sesuai dengan aturan Allah dan
Rasul shallallahu ‘alaihi wassalaam. Subhanallah.
2) Ia sendiri mendapat ilmu langsung dari ulama-ulama
terpercaya dan mumpuni dalam kapasitasnya sebagai ahli
ilmu.
Dalam sanad-nya secara tersurat beliau langsung menimba
ilmu atau berguru langsung dengan para Masyaikh Darul
Hadits Mekkah Al-Mukarramah yang mu’tabar semisal Syeikh
Umar Hamdan (Abu Hafs Umar ibn Hamdan ibn Umar ibn
Hamdan al-Mahrasi At-Tunisi Al-Maghribi al-Madani Al-Maki
rahimahullah), atau Syeikh Abu Samah Abdul Dhohir
(Muhammad Abdul Dhohir ibn Muhammad Nuruddin Abu
Samah At-Talini Al-Mishri Al-Makki), dan lain-lain secara
manqul [2] (as-sama’ dan munawalah).
3) Santri-santrinya mengikuti apa yang ia ajarkan. Jika santri-
santrinya malah cenderung meninggalkannya, hal ini otomatis
menjadi pertanda bahwa ada sesuatu yang salah dengan apa
yang ia ajarkan. (ibid)
Alhamdulillah hingga saat ini semakin banyak individu-
individu, yang atas jasa Beliau pula lah, saat ini mereka telah
menjadi mubaligh-mubalighot yang tersebar tidak hanya di
Indonesia, namun juga di negara-negara regional seperti
Australia, Singapura, Malaysia, Suriname, Vietnam. Bahkan
ilmu yang dibawanya dulu dari Mekkah-Medinah, saat ini
telah sampai pula di benua Amerika dan Eropa. Mereka tetap
memegang apa yang telah syeikh ajarkan kepada mereka,
yaitu ilmu agama yang murni berdasarkan Qur’an dan Hadits
secara manqul, musnad, dan muttashil. Mereka tetap
memiliki kesamaan pergerakan dakwah seperti Syeikh
Nurhasan Al-Ubaidah: amar ma’ruf nahi munkar, basyiiran wa
nadziiran, dan lillahi ta’ala demi tujuan mulia: “wa tilkal
jannatul-latii uurits-tumuuhaa bimaa kuntum ta’maluun”, “dan
demikian surga itu diwariskan sebab apa-apa yang kalian
perbuat (di dunia)”.
Mudah-mudahan semangat al-Manshuuriin yang pernah
dicontohkan Syeikh Nurhasan Al-Ubaidah ini tetap melekat
pada diri generasi penerus mu’miniin yang mencintai Allah
dan Rasul shallallahu ‘alaihi wassalaam diatas segalanya.
Amiin Yaa Dzal Jalaali Wal Ikram. Mohon maaf bilamana ada
kesalahan. Semua kesalahan dalam penulisan ini pastinya
berasal dari diri penulis, namun semua kebenaran tetap
berasal dari Allah Ta’ala.
Wallahu Musta’an.
Walaa hawlaa walaa quwwata illa billah.
glossary
[1] Babat Alas: istilah dalam bahasa Jawa yang arti
harfiahnya adalah “pembukaan lahan hutan” yang bisa
dipergunakan sebagai lahan pertanian, atau agar bisa
dimanfaatkan untuk hal-hal yang berguna lainnya semisal
perumahan, dan lain-lain.
[2] Manqul means transmitted sciences. It includes
knowledge which is understood through study and by going
back to the founder of the science and his/her followers
through a recognised chain of transmission (isnad). It
includes religious science, for example, ‘ilm Al-Hadith, the
Science of the Hadith. (Egyptian Science in Medieval Arabic
Sources).
Oleh: Teguh Prayogo http://Teguh354.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Alhamdulilah Jaza Kumullohu Khoiro , Atas Komentarnya Semoga Alloh Paring aman, selamat, lancar, berhasil, barokah...!