FORUM PENGAJIAN QUR'AN HADITS

"Kami hanya ingin menegakkan nilai-nilai Al-Quran dan Al-Hadits"
cbox

Sabtu, 26 Desember 2015

Ulama Islam Indonesia



Ulama Betawi
yang berasal
dari Bekasi
adalah KH.
Noer Ali. Ia
adalah seorang
ulama pejuang
bangsa,
pemimpin
Lasykar Rakyat
Bekasi dan
Hizbullah. Ia
lahir di Ujung
Malang (Ujung
Harapan) Bekasi pada 15 Juni 1913 dan
wafat 29 Januari 1992. Noer Ali lahir dari
lingkungan keluarga yang taat beragama dan
bersahaja. Ia putra keempat dari lima
bersaudara. Ayahnya bemama Anwar bin
Layu adalah seorang petani. Kakeknya
berasal dari Pondok Ungu dan neneknya
Nurhani berasal dari Kampung Sumur,
Klender
Noer Ali mendapat bimbingan agama
langsung dari ayahnya. Setelah dikhitan
pada saat berumur delapan tahun, ia belajar
di madrasah dengan Ustadz Maksum di
Kampung Bulak. Di sana ia belajar Bahasa
Arab, menghafal juz amma, ilmu tauhid,
sejarah Islam dan para nabi, akhlak dan
fiqih. Setelah belajar selama tiga tahun
dengan Ustadz Maksum ia kemudian belajar
dengan Ustadz Mughni di Ujung Malang
(Ujung Harapan). Dengannya, Noer Ali belajar
Alfiyah (tata bahasa Arab), al- Qur’an,
tajwid, nahwu shorof, tauhid dan fiqih.
Sebelum berangkat belajar, ia melepaskan
kerbaunya di ladang lalu membawanya
kembali setelah pulang belajar dan bermain
dengan teman sekampungnya.
Sejak kecil ia sudah terlihat bakatnya
sebagai pemimpin. Jika bermain ia tidak
pernah mau di belakang dan kerapkali tampil
di depan di antara belasan teman mainnya
dan selalu keluar sebagai pemenang dalam
setiap permainan anak-anak seperti adu
kerbau dan lain-lain. Noer Ali merupakan
pelajar yang cerdas, ia hafal lebih awal
seribu bait alfiyah ibnu Malik. Oleh karenanya
ia disayangi gurunya dan dijadikan asisten
untuk mengajari santri junior.
Noer Ali seringkali diajak ayahnya untuk
berbelanja ke pasar Kranji melalui pematang
sawah. Dari sinilah ia bisa melihat pergaulan
masyarakat dan produk lainnya yang
dihidangkan oleh pedagang. Ia mencermati
berbagai perilaku masyarakat yang kurang
sejalan dengan nilai-nilai ajaran agama yang
dipelajarinya. Setiap perjalanannya selalu ia
ceritakan kepada adik-adiknya. Iapun
sempat mengungkapkan obsesinya kepada
adik-adiknya untuk menjadi pemimpin-
pemimpin agama agar bisa membina
masyarakatnya sesuai dengan ajaran Islam.
Hal inilah yang kemudian membantunya
terampil dalam berbicara dan berceramah
agama dan memiliki tekad yang kuat untuk
mendalami ilmu agama.
Setelah merasa cukup belajar dengan Ustadz
Mugni. Ia melanjutkan belajar agama tahap
lanjutan (setingkat aliyah) dengan Guru
Marzuki di Kampung Muara (sekarang
Cipinang Muara), Klender. Di sana ia belajar
tajwid, tauhid nahwu syaraf dan fiqih.
Selama bermukim di tempat Guru Marzuqi,
saat libur Noer Ali diajarkan berburu bajing
dan cara menembaknya oleh Guru Marzuki.
Pengajaran juga untuk menjaga serangan
dan ganguan kolonial Belanda. Di pondok
inilah ia bergaul dan berdiskusi dengan
teman-temanya yang kemudian menjadi
tokoh ulama, antara lain KH. Abdullah
Syafi’i, KH. Abdurrohman Shodri, KH. Abu
Bakar, KH. Muchtar Tabrani, KH. Usman. KH.
Abdul Bakir Marzuki, KH. Hasbullah, KH.
Mahmud, KH. Junaidi, KH. Rochim, KH.
Abdul Majid dan KH. Abdullah.
Setelah merasa cukup belajar dengan Tuan
Guru Marzuki, Noer Ali pada tahun 1934,
saat usianya 21 tahun, melanjutkan
pendidikanya ke Mekkah. Perjalanan ke
Mekkah ditempuhnya dengan kapal laut dari
Tanjung Priok selama dua minggu baru
sampai di Jeddah, dari sini ia naik unta
selama dua hari untuk sampai di Mekkah. Di
Mekkah ia belajar dengan Syeikh Ali al-
Maliki (guru KH. Marzuki ketika belajar di
Mekkah) dengan Syeikh ia belajar ilmu
hadits.
Guru lainya yaitu Syeikh Umar Hamdan, ia
belajar hadits khutubus sittah (hadits
Buchori, Muslim, Turmudzi, Abu Daud, Nasai
dan Ibnu Maja). Dari Syeikh Muhammad
Amin al-Qutbhi, ia belajar nahwu, Qawafi
(sastra) dan badi’ (mengarang), tauhid,
mantiq. Dengan Syeikh Abdul Jalil belajar
politik, Syeikh Umar at-Turki belajar hadits
dan Syeikh Ibnu Arabi ia belajar ulumul
Quran. Saat itu lamanya belajar di Mekkah
tidak ada batas pasti kapan selesainya
belajar, ukuran selesainya yaitu bila para
santri telah menguasai pelajaran yang telah
diajarkan oleh para Syeikhnya. Saat ia
belajar di Mekkah lantai Masjidil Haram
terdiri dari kerikil dan pasir.
Ketika di Mekkah itu Noer Ali juga aktif
dalam organisasi pergerakan pelajar
Indonesia yang selalu memonitor
perkembangan politik kolonial di tanah air.
Noer Ali mengumpulkan para pelajar Betawi
dan membentuk organisasi Persatuan Pelajar
Betawi dan menjadi ketuanya. Tujuan dari
perkumpulan itu untuk membantu pendanaan
bagi pelajar yang kekurangan biaya,
meningkatkan intelektualitas mulai dari
diskusi dan menumbuhkan kesadaran
semangat kebangsaan serta persatuan
pelajar. Noer Ali memimpin 100 pelajar
Betawi meminta pemerintah Saudi Arabia
untuk membatalkan rencana penarikan pajak
bagi pelajar asing, dan berhasil, sehingga
tidak jadi diberlakukan pajak tersebut. Noer
Ali juga pemah ditangkap dan diintrogasi
oleh polisi Mekkah, ketika dia dan teman-
temannya mengadakan pertemuan politik di
Jabal Qubais tahun 1939 yang menentang
kebijakan kolonial Belanda di Tanah Air. Noer
Ali kembali ke tanah air setelah enam tahun
belajar di Mekkah. Sepulang dari Mekkah,
Noer Ali yang saat itu berusia 27 tahun,
menikah dengan Siti Rahmah, putri gurunya
Ustadz Mugni pada tahun 1940.
Saat pulang dari Mekkah ia berencana untuk
membangun pesantren, niat itu disampaikan
oleh gurunya. Iapun kemudian dipangil oleh
Ustadz Zahruddin (guru dari Ustadz Mugni)
di Pancoran untuk mengetahui
kesungguhannya belajar di Makkah. Memang
ada anggapan masa itu, bila seorang tidak
belajar ke Mekkah bertahun-tahun, belumlah
dianggap memiliki ilmu agama yang
mumpuni. Noer Ali diuji dengan membaca
kitab kuning di rumah Zahruddin. iapun
membaca dan menjelaskan maknanya
dengan baik, belum sampai satu bab ia
membaca kitab tersebut, Zahruddin
memintanya berhenti dan berkomentar “Kalau
begitu ente benar-benar belajar di Mekkah.
Sekarang kalau ente mau membuka
pesantren di Ujung Malang, silahkan. ”
Kemudian ia membuka madrasah At-Taqwa.
Dalam waktu singkat, pesantren yang
dipimpinnya maju pesat, muridnya cukup
banyak berdatangan dari berbagai wilayah
Jawa Barat dan Jambi. KH. Noer Ali
menggunakan metode belajar salafi dan cara
Mekkah. Tahun 1941 santrinya sudah
mencapai 300 orang.
Perkembangan pesantrennya pasang surut,
saat damai digunakan untuk belajar dan saat
revolusi dijadikan markas laskar rakyat.
Pesantren ini telah mencetak banyak kader
ulama dan pemimpin di berbagai bidang
masyarakat. Tahun 1950, KH. Noer Ali juga
mendirikan Sekolah Rakyat Islam (SRI) dan
pada tahun 1954 mendirikan Pesantren
Bahagia sebagai lembaga pendidikan Islam
lanjutan (menengah) yang mengunakan
kurikulum umum 50 % dan agama 50 %. Para
santrinya adalah murid-murid berusia 13
tahun dari Sekolah Rakyat Islam (SRI). KH.
Noer Ali juga membentuk organisasi sosial
sebagai wadah pendidikan dan sosial yang
diberi nama Pembangunan Pemeliharaan dan
Pertolongan Islam (P3) pada tahun 1956.
Sekolah-sekolah yayasan ini menggunakan
nama yang sama yaitu, Perguruan Yayasan
Islam P3. Pada tahun 1957 perguruan ini
menjadi Perguruan Attaqwa Yayasan P3.
Pada tahun 1960, yayasan ini membuka
Pesantren At-Taqwa Yayasan P3 yang
bermateri pelajaran umum 25% dan agama
75%. Pada tahun 1962, ia mendirikan
Madrasah Menengah At-Taqwa (MMA)
dengan masa belajar 6 tahun. Pada tahun
1964, yayasan ini mendirikan Madrasah Al-
Baqiyatus Shalihat (Tsanawiyah Putri)
dengan pendidikan umum 50% dan agama
50%. Kemudian Perguruan At-Taqwa
mendirikan Madrasah Al-Qur’an wal Huffaz
dengan pelajaran qiraat 7 macam dan
menghafal Al-Qur’an yang dipimpin oleh KH.
Noer Ali sendiri. Kemudian perguruan ini
membuka Pesantren Tinggi At-Taqwa (PTA)
dengan tujuan menjadi Perguruan Tinggi
(Universitas). Pada tahun 1985, yayasan ini
telah memiliki puluhan hektar tanah wakaf di
wilayah Desa Bahagia dan telah mendirikan
28 cabang di wilayah kabupaten Bekasi.
Kemudian pada tahun 1986 seluruh lembaga
pendidikannya berganti nama menjadi
Yayasan At-Taqwa.
KH. Noer Ali dan kawan-kawan juga
mendirikan Badan Kerjasama Pondok
Pesantren (BKSPP) di Cianjur 6 Maret 1972
yang bertujuan membina dan
mempersatukan berbagai pondok pesantren
di Jawa Barat dan sekitamya di mana KH.
Noer Ali sebagai ketuanya. Organisasi ini
juga berhasil menyusun buku petunjuk
pendidikan Islam dengan berbagai aspeknya
yaitu, Minhajul Tarbiyyah wa Ta ’lim lil Ma
’ahidil Islamiyah ”.
Dalam merespon pelarangan berjilbab, BKSPP
mengeluarkan fatwa agar pakaian seragam
sekolah (bukan jilbab) tidak diwajibkan
secara mutlak kepada siswi untuk dipakai
oleh seluruh pelajar SMP/SLA, tetapi bagi
siswi yang memakai pakaian muslimah diberi
kelongaran, karena menutup aurat atau
memakai busana muslimah adalah perintah
agama yang telah dijamin oleh UUD 45 pasal
29.
Ketika zaman Belanda dan Jepang, KH. Noer
Ali aktif melawan penjajah dengan
menjadikan pesantrennya sebagai markas
pejuang rakyat. KH. Noer Ali pun ikut
menghadiri rapat raksasa di lapangan Ikada
untuk mendengarkan pidato politik Soekamo
yang menghimbau agar rakyat tetap pereaya
dengan pemerintah. Demikian pula pada
bulan November 1945, ia membentuk laskar
rakyat dengan memobilisasi para santri dan
masyarakat Bekasi untuk berjuang
mengangkat senjata melawan sekutu. Para
santri dan pejuang lainnya dibekali dengan
amalan ilmu kebal yang diijazahkan dari
gurunya ketika di Mekkah, Syeikh
Muhammad Amin al-Qutbhi. Para anggota
lasykar tersebut puasa tujuh hari di Masjid
Ujung Malang (Ujung Harapan). Selama
berpuasa mereka membaca hizbun nasr,
ratibul haddad, sholat tasbih, hajat dan
sholat witir. Dengan persiapan amalan batin
ini mereka menjadi pejuang yang gagah
berani.
Pertempuran hebatnya saat mereka
menghadang gerak laju pasukan tentara
Inggris di Pondok Ungu. Karena kepeloporan
dan keberaniannya itulah, Bung Tomo dalam
pidato perjuangannya pernah menyebut-
nyebut nama KH. Noer Ali sebagai pejuang
yang gigih dalam melawan sekutu, karena
sebutan itulah para masyarakat tidak
menyebutnya Tuan Guru melainkan pak kyai.
Selain menjadi komandan laskar rakyat, KH.
Noer Ali juga menjabat sebagai komandan
batalyon Hizbullah Bekasi.
Setelah perang usai, KH. Noer Ali aktif di
politik dengan menjadi ketua Masyumi
Bekasi. Ia menjadi anggota DPRD Bekasi
serta menjadi majlis konstituante hasil
pemilu 1955. Secara tradisi keagamaan KH.
Noer Ali adalah penganut Islam Sunni
(tradisional NU), namun secara politik ia
menyalurkan aspirasinya melalui partai
Masyumi. Saat aktif di Masyumi pusat. Ia
pun hadir dalam Muktamar Alim Ulama
Seluruh Indonesia di Palembang pada 8-11
Sepetember 1957. Dan dihadiri oleh lebih
dari seribu ulama dari Aceh hingga Papua. Di
sini KH. Noer Alie diangkat sebagai anggota
Seksi Hukum Majelis Permusyawaratan
Ulama Indonesia.
Saat peristiwa G30S/PKI, iapun aktif dalam
memerangi PKI di daerah Bekasi dan
sekitamya. KH. Noer Ali adalah sosok ulama
pejuang dan pejuang yang ulama yang tidak
pemah berhenti mengabdikan hidupnya untuk
kepentingan agama dan bangsanya. Hal ini
yang telah menjadikan KH. Noer Ali sebagai
figur ulama yang disegani dan dihormati oleh
berbagai lapisan masyarakat.
Pesantren At-Taqwa telah berkembang pesat
dan banyak membuka cabang. Ia berharap
keberadaan pesantrennya bisa lebih maju
dan terhindar dari berbagai intervensi politik
praktis dari berbagai pihak. Kepopuleran KH.
Noer Ali dengan pesantren At- Taqwa telah
menarik perhatian dari sejumlah tokoh
Nasional dan para pejabat untuk berkunjung
ke tempatnya, baik saat ia masih hidup
maupun sudah wafat. Mereka antara lain
Adam Malik, Alamsyah Prawiranegara, KH.
Idham Kholid, Prof. Dr. BJ. Habibie, Tri
Sutrisno, Hamzah Haz dan Yusril Ihza
Mahendra.
KH. Noer Ali wafat pada 29 Januari 1992. Ia
dimakamkan di komplek Pondok Pesantren
Putri A-Taqwa Jalan Ujung Harapan,
Bahagia, Babelan Bekasi. Karena jasa
perjuangannya, KH. Noer Ali mendapatkan
gelar Pahlawan Nasional melalui Kepres No
085/TK/Tahun 2006 pada 3 November 2006
oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.