Membangun Kembali Kejayaan
Maritim Indonesia
Sejak dulu, Indonesia dikenal sebagai "Negara Maritim"
berdasarkan struktur geografis yang sebagian besar
wilayahnya adalah perairan. Namun, benarkah julukan
yang telah melekat berpuluh-puluh tahun lamanya
merupakan identitas Indonesia jika visi kemaritiman belum
terlaksana sebagaimana mestinya?
“Negara Indonesia dinilai tidak memiliki landasan
konseptual dan legalitas yang jelas,” ujar Guru Besar Ilmu
Sejarah Universitas Diponegoro Prof Dr Singgih Tri
Sulistiyono, salah satu narasumber pada Focus Group
Discussion mengenai potensi maritim Indonesia di kantor
DPP LDII, Senin (14/04). Singgih yang juga Ketua DPW
LDII Jawa Tengah dan anggota Dewan Pakar LDII
memaparkan pentingnya menggagas konsep
pembangunan negara yang sesuai jati diri bangsa,
terutama dalam bidang kelautan.
"Sebuah negara maritim harus memiliki pondasi yang
jelas. Baik politik, ekonomi maupun kebudayaan. Belajar
dari kerajaan Majapahit yang mensinergikan daratan
dengan lautan dan Sriwijaya yang responsif dengan
lingkungan geostrategis. Sehingga, Sriwijaya pernah diakui
sebagai kerajaan bahari terbesar di Asia Tenggara dan
Majapahit berkembang menjadi kerajaan dengan wilayah
kekuasaan luas," ujar Singgih.
Bukti sejarah tersebut menunjukkan bahwa Indonesia
memang pernah menjadi negara maritim yang jaya.
Terlebih lagi dengan adanya fenomena diaspora maritim
sejak sekitar 3 ribu SM berdasarkan karakter terbuka dari
geografi Indonesia 'mentakdirkan' kepulauan Indonesia
menjadi bagian inheren pelayaran dan jaringan
perdagangan internasional, selain menimbulkan
keanekaragaman bahasa dan suku bangsa. Bukti sejarah
yang lain menunjukkan sejak abad kedua masehi, telah
terjadi hubungan dagang antara Indonesia dan India yang
merupakan negara adidaya saat itu setelah Cina.
"Orang-orang di Jawa tidak mengkonsumsi komoditas
rempah atau hasil hutan dalam skala besar, namun
diekspor kembali ke negara-negara sebelah barat. Itulah
yang membuat terjadinya semacam barter dimana orang
lokal memperoleh tekstil dengan menjual rempah," ungkap
Singgih.
Senada dengan Singgih, Dr. Hendrik E. Niemeijer yang
juga merupakan staf pengajar Undip mengemukakan,
"Perkembangan bersama dalam pelayaran dan
perdagangan di akhir abad pertengahan menunjukkan
bahwa pedagang-pedagang dunia di abad 15 telah saling
berhubungan. Dan pada periode 1450-1680 dikenal
dengan 'Age of Commerce' menurut Anthony Reid," ujar
Niemeijer.
Setelah Islam mulai menyebar di kalangan pedagang-
pedagang pribumi dan Malaka jatuh ke tangan Portugis,
pertumbuhan ekonomi sepanjang pesisir utara Jawa justru
tumbuh. Hal ini membuat kerajaan baru seperti Mataram
ingin menguasai, begitu juga dengan Portugis. Dan pada
abad 17, ketika Belanda datang dengan perusahaan
dagangnya VOC, kota perdagangan yang lemah dapat
dikuasai dan dimonopoli. Kebijakan monopoli VOC yaitu
dalam menentukan harga jual produk lokal dan pelarangan
menjual kepada Eropa lainnya.
Pedagang pribumi dipaksa menyesuaikan diri dengan
situasi di mana Belanda mendominasi pelayaran dan
perdagangan di kepulauan Indonesia. Sejak itulah, gaung
Indonesia sebagai negara maritim terputus. Karena itulah,
Singgih juga menegaskan bahwa tugas generasi sekarang
dan yang akan datang untuk menyelesaikan 'takdir
sejarah' sebagai negara maritim besar di masa
mendatang sesuai jati diri bangsa Indonesia.
Pembangunan negara maritim pun tidak dapat dilakukan
secara parsial. Harus memiliki pondasi jelas dalam bidang
politik, ekonomi dan budaya. Di mana politik mencakup
aspek ideologi, pertahanan dan keamanan, ekonomi
mencakup aspek sistem ekonomi, produksi dan distribusi
dan budaya mencakup aspek pendidikan, kelembagaan
dan peran rakyat dalam membangun negara maritim.
Untuk membangun negara maritim yang kuat pun,
diperlukan visi atau cara pandang kelautan yang kuat
dengan memandang wilayah daratan atau kepulauan
sebagai bagian dari wilayah laut. Dengan demikian, akan
mempengaruhi cara pendefinisian negara Indonesia
sebagai negara maritim.
Indonesia dapat dikatakan negara maritim bila dengan
kekuatan dan kemajuan teknologi maritimnya dapat
memanfaatkan potensi laut yang dimiliki secara sinergis.
Dengan pertumbuhan ekonomi di masa kini yang positif,
bukan tidak mungkin Indonesia masuk dalam daftar
sebagai negara maju.
"Namun, hingga saat ini, sumber daya kelautan masih
dipandang 'sebelah mata'. Kalaupun ada kegiatan yang
memanfaatkan itu umumnya kurang profesional dan
kurang mengindahkan aspek kelestarian sumber daya
alam", ungkap Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, yang
merupakan mantan Menteri Kelautan dan Perikanan
Indonesia.
Rokhmin memaparkan pembangunan wilayah pesisir dan
lautan secara terpadu dan berbasis inovasi yang
diharapkan dapat mengatasi kondisi, potensi dan
permasalahan pembangunan kelautan Indonesia serta
dinamika lingkungan global. Masih menurut Rokhmin,
pembangunan sektor kelautan dan perikanan harus
didahului pembenahan kebijakan dan implementasi
manajemen untuk mencapai lima tujuan yaitu,
peningkatan kesejahteraan nelayan, pembudidaya dan
stakeholder lainnya, peningkatan daya saing dan kontribusi
sektor laut, peningkatan kecerdasan dan kesehatan
bangsa dengan mengonsumsi ikan, pemeliharaan daya
dukung dan kualitas ekosistem laut, pesisir dan air tawar,
dan menjadikan laut untuk memperkokoh kedaulatan dan
kesatuan wilayah NKRI.
"Jika kita mampu melaksanakan pembangunan kelautan
sebagai platform pembangunan ekonomi bangsa,
InsyaAlloh, paling lambat tahun 2030 Indonesia menjadi
negara maju, adil-makmur, bermartabat dan diridhoi Alloh
SWT. Pada akhirnya, masa depan pembangunan Indonesia
berbasis sumberdaya kelautan akan berpulang pada
sejauh mana keputusan politik pemerintah dan rakyat
Indonesia mendukung paradigma tersebut," jelas Rokhmin.
(Noni/LINES)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Alhamdulilah Jaza Kumullohu Khoiro , Atas Komentarnya Semoga Alloh Paring aman, selamat, lancar, berhasil, barokah...!