5. DR. M. Syafi’i Mufid, MA - Peneliti,
Departemen Agama - Republik Indonesia
LDII Sekarang Ibarat Teori
Gelombang
LDII yang saya ketahui itu kan sebuah organisasi Islam. Yang
awalnya dari LEMKARI kemudian menjadi LDII. Nah,
sebelumnya ada yang namanya Islam Jama’ah. Sebelum
Islam Jama’ah, ada yang namanya Darul Hadits. Jadi, itu
proses dimulainya sebuah tafsir terhadap ajaran-ajaran Islam
tentang imamah (tentang jama’ah) kemudian
implementasinya dalam bentuk gerakan, yang namanya
gerakan Islam Jama’ah atau Darul Hadits.
Sebetulnya, ajaran inti dari yang kita kenal Islam Jama’ah itu
adalah mengenai kejama’ahan dan keimamahan. Apa yang
dipahami dari kawan-kawan Islam Jama’ah itu adalah atsar-
nya dari Sayidina Umar yaitu la islama illa bil jama’ah
walajamaata illa bil imamah wala imamata illa bithoah wala
thoata illa bil bai’at. Kemudian mamata laisa lahu biatun
mata mitatan jahiliyatan, haditsnya maupun atsarnya itu,
lazim di kalangan umat Islam. Tidak merupakan sesuatu yang
aneh, artinya masyhur (umum, dikenal). Yang menjadi aneh
pada waktu itu adalah, kalau orang tidak masuk jama’ah,
mereka itu dianggap bukan Islam. Itu masalahnya. Nah, ini
kekeliruan penafsiran yang banyak dilakukan oleh kelompok-
kelompok. Kemudian oleh Majelis Ulama Indonesia dikatakan
sebagai kelompok sesat. Itu adalah klaim kebenaran yang
hanya ada pada mereka. La islama illa bil jama’ah. Kata-kata
jama’ah itu hanya untuk Darul Hadits, Islam Jama’ah. Kan
begitu awalnya. Mestinya tidak begitu. Jadi, Islam Jama’ah
adalah Al jama’ah min jamaatul muslimin. Jadi, satu jama’ah
dari jama’ah-jama’ahnya umat Islam. Umat Islam itu banyak
jama’ahnya. Tidak satu-satunya. Nah, disini yang menjadi
krusial itu.
Bai’at itu, kalau kita kembali kepada sejarah sirah nabawiyah
itu, kan ada bai’at aqobah, ada bai’atur ridwan. Nah, itu
berbeda. Bai’at yang pertama itu, bai’at untuk menyatakan
lailaha illallah muhammadurrasulullah, dan dia siap. Di
Aqobah itu, orang Aus dan Hujrat yang datang menghadap
Nabi itu, siap menerima kehadiran Nabi di Madinah,
melindungi Nabi di Madinah, dan siap mengikuti ajaran Nabi
Muhammad. itu bai’at aqobah. Kemudian bai’atur ridwan itu
adalah umat Islam yang siap untuk menghadapi apapun yang
terjadi. Ketika umat Islam mendapatkan berita bahwa utusan
Nabi yang ke Mekkah itu di tahan oleh Quraisy, Utsman
diutus untuk negosiasi dengan orang Quraisy. Waktu itu, Nabi
tidak berkehendak perang, tapi ingin melakukan ibadah haji.
Tapi akhirnya ditolak. Kemudian ada perjanjian. Kemudian
Nabi kembali ke Madinah. Baru kemudian 2tahun berikutnya,
Nabi pergi ke Mekkah. Nah, itu bai’at, dan ada bai’at lagi
yaitu bai’at kepemimpinan ketika khalifah Umar membai’at
Abu Bakar sebagai khalifah. Bai’at itu sebetulnya, ya kalau
bahasa sekarang, bai’at kepada khalifah atau bai’at kepada
khulafaur rosyidin. Ya, demokrasi itu dimana pemilih
menyatakan aku setuju dengan anda. Nah, bai’at yang di LDII
atau yang sejenis itu, hakikatnya adalah sama dengan bai’at
kepada pemimpin. Pemimpinnya sebagai imam yang secara
spesifik itu sama dengan bai’at orang-orang thariqot. Orang-
orang thariqot juga bai’atnya untuk sami’na waatho’na
terhadap guru atau mursyidnya. Nah kalau orang-orang
Jama’ah ini sami’na waatho’na terhadap imamnya, itu sama
dengan tidak masalah. Masih tetap dalam hal-hal yang tidak
bertentangan dengan syari’at. Nah, yang bertentangan adalah
tidak ada imam yang lain kecuali imamku, dan membai’at
imam yang bukan imamku, batal. Itu kafir. Itu yang keliru.
Siapapun yang berpandangan eksklusif semacam itu, keliru.
Dan itu ciri dari jama’ah-jama’ah yang eksklusif seperti itu.
Ajaran manqul itu, sebetulnya ada dalam tradisi ulama-ulama
nusantara, meskipun tidak dikatakan manqul. Itu kan ada
istilah ijazah. Seorang ulama misalnya, saya pernah ngaji
kepada guru saya untuk baca kitab ihya’. Setelah tamat baca
ihya’, itu guru saya (kyai saya itu) memberikan ijazah kepada
murid-muridnya yang mengikuti pengajian itu, termasuk saya,
untuk sahnya membaca ihya’. Nah, saya bisa membaca ihya’,
kayak begini itu dari guru saya. Guru saya itu mendapatkan
kemampuannya itu dari gurunya. Itulah yang namanya
silsilah. Manqul, kalau dipahami sebagai silsilah, kayak
begitu. Biasa, wajar. Persoalannya, manqul itu adalah hadits
yang diajarkan oleh gurunya. Itu sajalah yang benar. Tidak
ada hadits yang benar kecuali yang diajarkan oleh gurunya.
Padahal, jumlah hadits itu kan ratusan ribu. Nah, bagaimana
dia bisa mengatakan hanya gurunya sajalah yang sah untuk
meriwayatkan hadits ini. Kan lagi-lagi eksklusif. Di situ letak
kekeliruannya. Manqul pada umumnya tidak ada masalah,
karena dia tidak beranggapan bahwa hanya dengan jalan
inilah orang bisa masuk syurga. Kecuali, kalau tidak mengikuti
jalan ini, orang masuk neraka, di situ kemudian terjadi doktrin
yang menyesatkan, karena jalan untuk menuju kebenaran itu
banyak. hadits itu banyak. Kitab itu banyak pendapat. Nah,
ini yang mereka itu tidak ada ketika masih dalam gerakan
Islam Jama’ah.
Nah, ketika sudah menjadi LDII, saya sudah mendengar, saya
sudah membaca Keputusan Rakernas LDII tahun 2007 bahwa
memang LDII sudah mengubah paradigma lama dengan
paradigma baru, termasuk ajaran tentang Islam Jama’ah,
ajaran Manqul, ajaran tentang Imamah, Keamiran dan lain
sebagainya sudah dihilangkan. Mereka sudah mengikuti
sawadul a’dhom. Itu tertulis. Nah, sekarang apa iya seperti
itu, tanyakan kepada orang-orang LDII. Sepengetahuan saya,
pernah suatu ketika saya shalat jum’at di Masjid LDII di
daerah Dago (Bandung). Sampai orang-orang sebagian bubar,
saya masih shalat di situ. Kemudian saya pergi. Saya
tinggalkan Masjid itu, tetapi saya pergi ke rumah seorang
teman yang berdekatan dengan masjid itu. Saya yakin
mereka tidak tahu, kalau saya mampir di depan Masjid itu.
Nah di rumah teman itu, saya perhatikan dari rumah jendela
kaca, saya perhatikan betul bahwa tidak ada seorangpun
yang mencuci tempat di mana saya duduk dan saya sujud di
Masjid itu. Karena anggapan bahwa kalau saya bukan
anggota LDII adalah najis atau orang bukan Islam, ternyata
tidak ada sampai akhirnya datang waktu shalat Ashar. Ketika
shalat Ashar, saya datang lagi ke tempat itu. Kemudian saya
memperkenalkan diri. Saya salaman kepada mereka. Lalu
terjadilah dialog. Dia tanya, ”Bapak dari mana?” Saya dari
Departemen Agama, lagi ada Rapat Kerja di Badung.
Kebetulan saya ada keperluan ketemu dengan teman yang
rumahnya dekat sini. Lalu saya shalat disini. ”Saya mau tahu
apakah sudah ada perubahan di kalangan teman-teman di
LDII apa nggak?,” Katanya, kalau ada orang shalat di LDII,
dicuci. Ketika saya lihat sendiri, kok tidak dicuci bekas
tempat saya tadi. Nah itu gimana? Kata mereka, ”Itulah pak,
fitnah yang terjadi, dimana saya mencuci bekasnya orang
shalat, nggak ada, itu fitnah.” Apakah dulu memang pernah
terjadi seperti itu, atau itu memang sudah terjadi perubahan?
”Saya orang LDII yang berhak untuk menjawab.” Pengalaman
saya yang seperti itu tidak sekali saja. Pada waktu lebaran
kemarin, saya juga shalat di Masjid Pantura yang di situ ada
spanduknya yang bertuliskan ”Mengucapkan selamat Idul
Fitri.” Pada kanan kiri spanduk tersebut, ada simbol Majelis
Ulama Indonesia dan simbol LDII. Boleh saya katakan bahwa
Masjid yang saya pakai adalah masjidnya LDII. Ternyata di
situ, yang menjadi Imam Maghrib --waktu itu masih dalam
bulan Ramadhan-- itu bukan orang LDII. Dan orang-orang LDII
yang tinggal di sekitar masjid juga ikut berjama’ah di situ.
Masjid di situ tempat lalu lalang (banyak orang), dan tidak
ada cuci-mencuci itu. Itulah pengalaman saya terhadap LDII.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Alhamdulilah Jaza Kumullohu Khoiro , Atas Komentarnya Semoga Alloh Paring aman, selamat, lancar, berhasil, barokah...!